Tentang "Negara Mundur" dan Konsekuensinya Terhadap Hukum Administrasi (The State in Retreat and Its Consequences on Administrative Law)
Saturday, April 19, 2014
Unknown
I was invited to Municipal Services Project Conference, Putting Public in Public Services: Research, Action and Equity in the Global South International Conference – Cape Town, South Africa April 13-16, 2014. My paper entitled "The State Retreats and Never Returns: Consequences of Neoliberal Reforms on Administrative Law Protection in Indonesia" and the conference presentation are available for download int he links provided (both in English). The remainder of this post will be in Bahasa Indonesia.
Saya diundang oleh Municipal Services Project untuk memberikan presentasi atas karya tulis saya, pada Konferensi Putting Public in Public Services: Research, Action and Equity in the Global South International Conference – Cape Town, South Africa April 13-16, 2014. Paper saya yang berjudul "The State Retreats and Never Returns: Consequences of Neoliberal Reforms on Administrative Law Protection in Indonesia" beserta presentasinya dapat di download di link tersebut.
Pada intinya tulisan saya membahas mengenai fenomena "negara mundur" dan penolakan terhadap "negara regulasi" di Indonesia. Baik fenomena negara mundur dan diskursus perihal "negara regulasi" sebenarnya belum begitu populer di Indonesia, walaupun pada kenyataannya, gejala tersebut ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Saya membandingkan fenomena mundurnya negara di Indonesia dengan di beberapa negara industri maju, terutama di eropah. Di eropah, negara mundur dan kemudian kembali lagi sebagai regulator, yang mana perannya tidak lagi memberikan pelayanan publik, melainkan sebagai regulator atas pelayanan publik yang diberikan oleh pihak bukan negara (non state actors). Nah, di Indonesia, menurut analisa dan beberapa studi kasus yang saya lakukan, negara juga mundur, namun tidak kembali lagi sebagai regulator. Sebagai konsekuensinya, maka beberapa perlindungan hukum administrasi negara yang tadinya tersedia bagi warga negara, menjadi tidak tersedia. Saya memberikan beberapa studi kasus: Privatisasi Air di Batam, Penerapan UU Keterbukaan Informasi Publik pada Konsesi Air di Jakarta dan terakhir, Keterbatasan UU Pelayanan Publik.
Ada dua penjelasan yang saya tawarkan. Pertama, penolakan Negara Regulasi pada tingkatan Mahkamah Konstitusi -- karena pengaruh beberapa Jurist yang mendukung negara kesejahteraan seperti Wolfgang Friedmann -- dan di sisi lain, delegasi/privatisasi terselubung kepada aktor bukan negara, yakni privatisasi yang dilakukan bukan dengan metode "full divestiture" atau penjualan saham atau aset, melainkan lewat kontrak dan mekanisme lainnya. Ironisnya, gerakan menolak privatisasi menurut saya, justru mengakibatkan regulasi tidak berkembang dan perlindungan hukum administrasi menjadi hilang.
Penjelasan kedua adalah gerakan tata kelola pemerintahan (Good Governance), yang hanya menitik beratkan akuntabilitas pada fungsi tradisional negara, sementara fungsi-fungsi tersebut sebenarnya sudah didelegasikan kepada aktor bukan negara. Trend ini, misalnya lewat UU Keterbukaan Informasi Publik atau UU Pelayanan Publik memang cukup efektif dalam membuat negara akuntabel, tapi tidak efektif atau tidak berguna pada fungsi-fungsi yang didelegasikan.
Dalam konferensi saya bertemu banyak delegasi dari negara lain yang memberikan penjelasan menarik atas pelayanan publik di negaranya masing masing. Saya mendapatkan banyak kasus menarik mengenai pemberdayaan Perusahaan Milik Negara/BUMN di Malaysia (Kesehatan), Uruguay (Telekom) dan juga pemberdayaan sektor informal di India dan beberapa negara lainnya.