Showing posts with label regulation. Show all posts
Showing posts with label regulation. Show all posts
, , ,

Konsep Regulasi Berbasis Risiko: Telaah Kritis dalam Penerapannya pada Undang-Undang Cipta Kerja

Monday, May 24, 2021


Abstrak

Undang-Undang Cipta Kerja menekankan pada kemudahan untuk melakukan usaha. Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah penyederhanaan perizinan berusaha. Konsep Regulasi Berbasis Risiko menarik bagi program penyederhanaan perizinan karena diasumsikan bahwa penerapannya dapat mengurangi jumlah perizinan. Namun, penerapan analisis resiko untuk menapis izin merupakan sesuatu yang berbeda dengan penerapan konsep Regulasi Berbasis Risiko di negara-negara lain. Selain itu, penerapan regulasi berbasis risiko juga perlu memperhatikan kritik yang tidak terakomodasi dalam Undang-Undang. Tulisan ini menjabarkan 4 (empat) kritik atas penerapan regulasi berbasis risiko dalam Undang-Undang Cipta Kerja, yaitu (i) format omnibus merancukan penilaian risiko, (ii) risiko volatilitas belum dipertimbangkan, (iii) risiko sistemik belum dipertimbangkan serta (iv) potensi “regulatory capture”. Secara konseptual, penerapan regulasi berbasis risiko memantik diskursus akademik mengenai pengertian regulasi secara luas yang telah jauh berkembang dari pemaknaan sempit dalam wacana akademik di Indonesia yang mendefinisikannya sebatas peraturan perundang-undangan semata. 

Kata kunci: Regulasi, Regulasi Berbasis Risiko, Undang-Undang Cipta Kerja, Omnibus. 

Abstract 

The Law on Job Creation emphasizes the ease of doing business. One of the things that is of concern is the simplification of business permit. The concept of risk-based regulation is attractive to simplify the programs due to the assumption that it may cut off a number of licenses. However, the application of risk analysis to screen permits is something different from other countries. In addition, the application of risk-based regulations also needs to pay attention to the critique that is not accommodated in the Law. This paper describes 4 (four) critiques of the application of risk-based regulation in the Law, (i) the omnibus format confuses risk assessment, (ii) volatility risk has not been considered, (iii) systemic risk has not been considered and (iv) potential “regulatory capture”. Conceptually, the application of risk-based regulation has sparked an academic discourse regarding the broad understanding of regulation that has evolved far from the narrow meaning in academic discourse in Indonesia which defines it only as a statutory regulation. 

Keywords: Regulation, Risk Based Ragulation, Job Creation Law, Omnibus

Download paper disini.



, ,

CRPG Presentation at the 2018 Dioxin Conference

Thursday, August 30, 2018



CRPG Director Mohamad Mova Al'Afghani gave a presentation at the Dioxin 2018 Conference in Krakow, Poland. His presentation was based on an earlier publication: AlAfghani, MM and Paramita, D, "Regulatory Challenges in the Phasing-out of Persistent Organic Pollutants in Indonesia", the International Chemical Regulatory and Law Review 01/2018 https://doi.org/10.21552/icrl/2018/1/5

His conference presentation can be downloaded here.

,

Asia/Europe International Training Program “Strategies for Chemical Management” Stockholm, Sweden 12 September – 4 October 2016

Thursday, November 3, 2016


A CRPG researcher, Dyah Paramita, was selected among 29 other participants from Europe and Asia to be funded for a 3 week training on Strategies for Chemical Management conducted by Swedish Chemical Agency on behalf of the Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA). In this program, the participants have learned and discussed several issues such as the importance of chemical management, the use of chemicals, hazard assessment and communication, exposure and risk assessments, risk management, law enforcement, and national development of  chemical management.  In this regards, CRPG develops an action plan to conduct a policy analysis regarding the draft of chemical law and draft revision of the Government Regulation No. 74/2001 on the Hazardous and Toxic Substance Management. The program includes visits to the Swedish Toxicology Science Research Center (Swetox), the Swedish National Food Agency, and the City of Stockholm Environment and Health Administration

CRPG's Presentation

,

Conventional regulations won't work for 'sharing' economies

Thursday, April 14, 2016


Image result for sharing economy


An excerpt from my OpEd in The Jakarta Post:

What is certain is that the old economy is being redefined. Even jobs are being redefined. Information technology is slowly but surely shifting “employee” into “workforce-as-service”. There will be fewer employees and more part-time work-from-home consultants. There will be fewer people going to offices and more people teleconferencing through virtual reality gadgets.

For lawyers, this means that the traditional elements of labor law, wages, authority (e.i. from a boss) and “a defined job”, are no longer fulfilled. The new workforce has more independence and outcome-rather-than-process orientation. So authority is rather irrelevant. They also receive commissions instead of wages. They also may not have a set of “defined jobs” — they may be working here and there on several projects.

For that reason, the existing Manpower Law may not be necessarily relevant for the sharing economy. Thus the government shouldn’t force manpower laws on Uber and Go-Jek. This is not to suggest that the new workforce should be deprived of their traditional protections — in terms of health insurance and pension funds and other benefits — that are traditionally provided by offices. It simply means that the government needs to think of new ways so that these protections remain available when the workforce has shifted from employment to services.

The same reason goes for transportation platforms. Taxis, for example, must comply with minimum service standards, such as being equipped with taximeters, assurance of driver’s physical condition, maximum working hours, vehicle maximum age and general safety standards such as functional seatbelts, functional brakes and regular checking to ensure that the vehicle is roadworthy. All these standards must be available to Uber’s or GrabTaxi’s customers too.

The real problem is how to apply these standards to a sharing economies platform. The government should not confuse regulatory goals with regulatory formalities. Subjecting vehicles to yellow license plates or registering them with specific licenses are regulatory formalities (means) to regulatory goals (ends), which is, among others, safety.

Now how do we get them to obey these standards? The current academic proposal from experts worldwide is through self-regulation. Some called them “shared regulations”, which denotes shared regulatory competence among several regulatory authorities and the companies themselves. Unfortunately this idea has not caught the attention of Indonesian policymakers and they are preoccupied with applying existing legal definitions to Uber, Grab or Go-Jek. As I previously mentioned, it won’t work because they can’t be categorized as per se IT or transportation companies.

See full article here.

, , ,

Bagaimana seharusnya sharing economy diatur?

Monday, April 4, 2016



(Image: Psarros)

Literatur regulasi baru mulai ramai membahas hal ini sejak 2014 lalu. Satu hal yang banyak disepakati adalah perusahaan yang menyediakan platform marketplace seperti di atas membutuhkan kategori tersendiri di luar dari perusahaan IT atau perusahaan transportasi. Perusahaan-perusahaan ini sebaiknya diatur dengan model self-regulation (Cohen-Sundarajan, 2015).

Self-regulation dipraktikkan, misalnya, dalam pengaturan organisasi profesi seperti advokat, notaris, kedokteran, dan dalam beberapa hal, penjara dan sekolah. Dalam banyak contoh tersebut regulasi tak lagi terpusat pada pemerintah melainkan berkembang dalam lokus-lokus tersendiri (Black 2001).

Justifikasi atas self-regulation ini setidaknya bisa kita lihat dari (i) kapasitas regulasi dan (ii) insentif regulasi.

Dari sisi kapasitas regulasi, tampak bahwa ongkos regulasi yang harus dibayar oleh pemerintah akan besar apabila harus mendata satu persatu pengemudi Gojek dan Uber dan melakukan pengawasan terhadap ketaatan setiap pengemudinya atas standar pelayanan minimal. Sementara itu, Gojek dan Uber lebih memiliki kapasitas karena secara otomatis punya data dari setiap pengemudi, lengkap dengan pemeringkatannya serta keluhan penumpang atas pengemudi.

Sedangkan dari sisi insentif regulasi, kita dapat menilainya lewat dua faktor: (a) insentif untuk menegakkan dan (b) insentif untuk menaati aturan. Dari sisi insentif untuk menegakkan, aparat pemerintah memiliki insentif, misalnya, lewat lewat promosi jabatan. Namun demikian, Gojek/Uber memiliki insentif lebih karena berhubungan dengan reputasi dan kualitas layanannya. Biaya yang diperlukan perusahaan tersebut dalam memutuskan pemilik sumberdaya dari jaringan sangat kecil dibandingkan dengan, misalnya, biaya dalam melakukan sidang tilang.

Demikian juga dari sisi ketaatan. Soal memberikan helm bagi penumpang, misalnya, insentif utama bagi pengemudi ojek adalah akan ditangkap polisi. Namun, apabila ada ancaman lain seperti dilaporkan oleh penumpang kepada perusahaan, maka insentifnya dalam menaati peraturan akan bertambah.

Dengan demikian, peranan pemerintah (atas menu-menu regulasi tertentu) bukanlah sebagai penegak langsung atas aturan (enforcer) melainkan penegak tidak langsung. Pemerintah cukup membuat kerangkanya regulasinya dan meminta akuntabilitas ketaatan secara umum dari perusahaan. Yang menjadi pelaksana dan penegak regulasi adalah perusahaan-perusahaan tersebut langsung kepada para pengemudi.

Pemerintah bisa membuat standar tingkat ketaatan rata-rata minimal dari pengemudi (misalnya, jumlah rata rata kecelakaan) dan kemudian menjatuhkan denda apabila perusahaan tidak memenuhinya. Dengan cara ini, Uber/Gojek akan dipacu untuk terus melakukan penyuluhan keselamatan kepada pengemudi.

Baca artikel lengkapnya di Geotimes:
Jokowi dan Problem Regulasi Ekonomi Berbagi oleh Mohamad Mova Al'Afghani

, , ,

Regulatory Framework for Local Scale Wastewater / Kerangka Regulasi Air Limbah Skala Lokal

Thursday, March 31, 2016


CRPG recently completed its report (currently in layout stage) on the regulation of local scale wastewater commisioned for ISF UTS under the ADRAS project. We propose that regulatory framework specifically acknowledge local/community scale wastewater in the spectrum of wastewater provision and that community based organizations are accorded with distinct rights and obligations as a service provider. The template that we propose (above picture) can be incorporated into regional bylaws/regional regulation or national regulation.

To download the high quality resolution mind map, "save as" this link.

,

Regulation of Sharing Economy/ Regulasi Sharing Economy

Wednesday, March 30, 2016



This mindmap (v.1.0.) lists issues and explores regulatory methods for sharing economies. Banning/disconnecting users from marketplace and rating/trust system are proposed as part of the new regulatory tools.


To view/download the full size mind map, go to here.

, , , ,

Lecture on the regulation of sharing economies

Monday, March 28, 2016

The lecture explores sharing economies, externalities associated by it and whether self-regulation (or shared regulation) can be applied to sharing economy platforms. The lecture use the case of Uber (transportation platform) in Indonesia. Session 1 contains slides on sharing economy. Session 2 introduce basic regulation theories and apply it into sharing economy. The lecture contain videos/multimedia, you need to click on the box to play it. 





, , ,

Hasil Analisa Regulasi Air Limbah Skala Lokal

Sunday, March 27, 2016





Berikut adalah hasil analisa regulasi air limbah skala lokal, dipresentasikan pada pertemuan di Ditjen Cipta Karya dan Bappenas, Maret 8 dan 9, 2016. Riset ini terselenggara atas kerjasama antara ISF-UTS dengan CRPG, ODI dan Borda atas dana dari Australia Development Research Awards (ADRAS) Scheme.

Untuk mendownload versi penuhnya silahkan (save as) link ini.

Laporan akhir sedang dalam proses layout dan penterjemahan.

, , , ,

Dapatkah Uber dan GoJek Mengatur Dirinya Sendiri?

Thursday, March 24, 2016



Sumber: Koran Sindo, Edisi 24-03-2016

Pic Credit: Adzaniah

Apakah Uber dan GoJek harus diregulasi? Secara prinsip, apabila suatu kegiatan ekonomi dapat berjalan lancar dengan sendirinya tanpa merugikan orang lain dan lingkungan, tidak perlu ada regulasi. 

Meski demikian, apabila ada sedikit saja potensi pihak ketiga dan lingkungan dirugikan, di situ terdapat justifikasi untuk melakukan regulasi. Dalam kasus transportasi online seperti Uber dan Gojek, setidaknya ada beberapa pihak yang—apabila tidak terdapat regulasi yang memadai—dapat dirugikan. Pertama adalah sopir. 

Karena status hukumnya bukan sebagai pekerja, sopir tidak mendapat perlindungan dari hukum ketenagakerjaan berupa hak-hak jaminan kesehatan, jaminan sosial, dan sebagainya. Kedua adalah penumpang. Dalam transportasi umum berizin ada beberapa standar yang harus dipenuhi. Misalnya, harus ada yang memastikan tersedia seatbelt yang berfungsi atau remnya tidak blong. 

Apabila tidak, ada potensi bahaya. Ketiga adalah lingkungan sekitar seperti pengguna jalan yang dapat dibahayakan akibat pengemudi yang ugal-ugalan dalam mencari setoran. Bagi para ekonom, istilah dari fenomena-fenomena ini adalah ”eksternalitas negatif”. Tiga hal di atas adalah contoh singkat justifikasi mengapa Uber dan GoJek seharusnya diregulasi. 

Mungkin ada yang akan berpendapat bahwa soal standar keamanan sebenarnya sudah diatur dalam peraturan lalu lintas dan transportasi umum, mengapa untuk Uber dan GoJek harus diatur khusus? Betul bahwa ada standar umum yang berlaku bagi setiap kendaraan, namun Uber dan GoJek berbeda karena aset kendaraan dipergunakan khusus untuk keperluan nonpribadi. 


Di sini ada potensi ”moral hazard ” di mana standar keselamatan dikompromikan karena kepentingan finansial. Dengan kata lain, pemilik kendaraan pribadi akan lebih cenderung melakukan investasi terhadap keselamatan dibanding pemilik angkutan umum atau mobil yang diompreng -kan. Tapi, bukankah ada aturan tidak menjamin keselamatan, buktinya banyak juga angkutan umum yang terlibat kecelakaan dan sopirnya ugal-ugalan? 



Betul, tapi di sini kita bicara ”efektivitas regulasi”, sementara sebelumnya kita bicara soal ”justifikasi regulasi”. Moral hazard dan eksternalitas negatif merupakan dua justifikasi utama untuk melakukan regulasi. Adalah kewajiban pemerintah untuk memastikan ongkos sosial dari kegiatan ekonomi ini minimum dan terefleksikan dalam harga yang dibayar. Bukankah GoJek lebih bagus dari ojek pangkalan karena sudah pasti penumpang diberikan helm dan masker? Betul. 



Nah, sekarang kita bicara soal efektivitas regulasi. Soal GoJek yang memberikan helm kepada penumpangnya sebenarnya merupakan sinyal bahwa Uber dan GoJek memiliki potensi untuk meregulasi dirinya sendiri (self regulation). 



Setiap kali berbicara regulasi, orang cenderung berpikir tentang aturan dan sanksi yang dikeluarkan pemerintah lewat peraturan perundangundangan. Ini sebenarnya kurang tepat karena pertanyaan kedua yang wajib dijawab ketika pertanyaan pertama tentang justifikasi regulasi sudah terjawab adalah dengan metode dan model apa regulasi akan dilakukan? 



Model regulasi aturan dan sanksi dari pemerintah itu dikenal dengan metode ”commandand- control”. Metode ini paling klasik karena berbicara otoritas negara. Mayoritas publikasi akademik terakhir dalam arena regulasi mengusulkan self regulation bagi sharing economy. Self regulation berbeda dengan commandandcontrol karena dalam self regulation ada ”ruang regulasi” bagi pelaku ekonomi. 



Dalam self regulation, pemerintah tidak perlu mengawasi detail tetek bengek standar keselamatan secara langsung dan memberikan sanksi kepada pelanggarnya karena hal itu dilakukan sendiri oleh pelaku ekonomi. Kenapa self regulation banyak diusulkan sebagai metode regulasi sharing economy? Jawabannya adalah platform bisnis ini dengan mudahnya (dan dengan ongkos yang sangat minim) bisa mengeluarkan dan memasukkan orang ke dalam kegiatan ekonomi. 



Regulasi intinya adalah penentuan siapa yang boleh ikut serta dan siapa yang tidak serta standar apa yang dipakai untuk menentukan seseorang boleh ikut serta atau tidak. Uber dan GoJek punya standar untuk menentukan siapa yang bisa jadi sopir dan ikut ke dalammarketplace- nya. Apabila ada sopir yang ugal-ugalan, akan di-ban dari appnya dan di-blacklist sebagai sopir. 



Standarstandar ini ”regulasi” juga walaupun tunduk kepada ”terms ofservice ” dan bukan peraturan perundang-undangan di bidang transportasi. Metode kedua yang dipakai untuk self regulation dalam sharing economy adalah sistem reputasi. Sistem reputasi ini dulu terkenal ketika dipakai oleh Ebay untuk me-rating penjual. Penjual yang punya rating tinggi memperoleh reputasi yang baik dan dipercaya oleh konsumen. 



Pada hakikatnya, sistem reputasi ini merefleksikan kualitas suatu barang (atau dalam kasus GoJek dan Uber, suatu layanan). Kendati demikian, sistem ini tidak sempurna. Orang bisa memberikan rating baik karena sopirnya ganteng atau cantik atau rating buruk hanya karena sopirnya tidak ramah. Ihwal yang tidak kasatmata seperti rem blong dan sebagainya tidak dengan mudah terefleksikan dalam rating ini. 



Bisa jadi sopirnya ganteng atau cantik, tapi remnya blong dan tetap saja orang memberikan rating yang bagus. Walaupun sistem reputasi ini tidak sempurna, setidaknya ini memberikan cerminan atas kualitaslayanan. Sisteminijugadapat disempurnakan untuk bisa merefleksikan standar pelayanan transportasi pada umumnya. 



Apakah self regulation ini bisa efektif? Kita tidak tahu. Mau tidak mau, sharing economy melakukan disrupsi terhadap pemain lama. Tapi, yang jelas, self regulation akan tetap lebih baik dibandingkan no regulation atau pelarangan total. Uber dan GoJek juga seharusnya tertarik dengan proposal self regulation ini karena dengan metode ini intervensi pemerintah akan minim. 



Ditambah lagi, yang sudah dan sedang mereka lakukan selama ini sebenarnya juga sebuah self regulation. Secara teoritis, kita bisa mengetahui apabila self regulation ini efektif ketika perubahan perilaku dan turunnya biaya sosial yang diakibatkan dari aktivitas ekonomi. Katakanlah, apabila standar keselamatan naik dan keluhan penumpang turun, kita bisa tahu bahwa metode ini efektif. 



Yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah untuk menentukan bagian-bagian mana yang akan diberlakukan self regulation dan bagian-bagian mana yang tetap akan diberlakukan command-and-control. Bagi saya, prinsip yang harus diberlakukan dalam self regulation adalah same service, same standard. Artinya, standar-standar umum keselamatan transportasi harus berlaku sama bagi Uber dan GoJek maupun taksi konvensional. 



Tinggal permasalahannya, bagaimana standar ini akan ditegakkan. Dalam regulasi commandand- control, standar layanan ini bisa ditegakkan oleh DLLAJ dengan melakukan KIR atau pengecekan kendaraan. Nah, dalam self regulation penegakan aturan harusnya dapat dilaksanakan oleh Uber dan GoJek sendiri. Caranya bagaimana, apakah petugas Uber harus memeriksa satu persatu armadanya? 



Saya kira tidak. Bisa ditemukan cara lain agar sopir melaporkan sendiri kelaikan kendaraan. Soal jam kerja maksimal misalnya (karena dalam aturan kendaraan umum ada pem-batasan jam kerja sopir) bisa secara langsung dikalkulasikan lewat aplikasi yang ada dalam telepon genggam sopir. 



Bagaimana kalau mereka menolak kepatuhan terhadap standar layanan dan keselamatan transportasi umum tersebut? Nah, kalau itu tidak apa-apa, silakan blokir saja sebab pemerintah punya kewajiban melindungi warganya.


MOHAMAD MOVA AL’AFGHANI 
Direktur Center for Regulation, Policy and Governance (CRPG), Memperoleh PhD dalam Ilmu Hukum dari University of Dundee , UK 

, ,

Mengenal Bahaya Polychlorinated Biphenyls

Wednesday, February 24, 2016


Polychorinated Biphenyls (PCB) dapat menyebabkan kanker, kemandulan, penyakit cardiovaskular, gangguan sistem syaraf, gangguan endokrin, gangguan imunitas dan berbagai permasalahan kesehatan lainnya. PCB -- karena sifat isolatornya -- banyak diganukan pada peralatan listrik seperti trafo, kapasitor, Air Conditioner.

Karena termasuk kedalam Bahan Berbahaya dan Beracun, tim dari CRPG, UNIDO dan KLH saat ini sedang memformulasikan regulasi dan ESM (environmentally sound management) PCB di Indonesia. Regulasi PCB akan memberikan dampak berbagai industri yang menggunaan peralatan tersebut, khususnya industri energi/ketenagalistrikan, pabrik-pabrik dan lain sebagainya.






Update lain dari CRPG tentang PCB:


Website KLH untuk PCB.

, ,

PCB Regulations in European Union

Monday, February 22, 2016



PCB’s have long been recognised as posing a threat to the environment because of their toxicity, persistence and tendency to bioaccumulate (i.e. to build up in the bodies of animals, particularly at the top of the food chain). Although the use of PCBs has been reduced greatly since the 1970s it is recognised that those still remaining in existing equipment pose a continuing environmental threat.

In European Union, about Polychlorinated Byphenils (PCBs) is regulated through EC Directive 96/59 EC on the disposal of PCBs and Polychlorinated Terphenils (PCTs), which requires the preparation of national inventories and the labelling/disposal of all PCB holdings.

Also there are European Communities (Dangerous Substances and Preparations)(Marketing and Use) Regulations 2003.[1] These regulations implement Council Directives 85/467/EEC and 89/677/EEC in relation to polychlorinated biphenyls (except mono and dichlorinated biphenyls), PCTs, and preparations, including waste oils, with a PCB or PCT weight content higher than 0.005%. These substances may not be used, except in designated applications that were in service prior to 30 June 1986. Equipment and plant containing PCBs or PCTs are required to display instructions concerning disposal and maintenance and use of equipment and plant containing them.

Member states then implement this directive into their municipal laws and regulations.

Below are laws and regulations about PCBs in several member states of EU :

United Kingdom
1.      The Health and Safety at Work etc Act 1974 requires employers to ensure so far as is reasonably practicable the health, safety and welfare of all their employees at work. You are required to co-operate with your employer, for example by using safety equipment and working methods as instructed.
2.      The Control of Substances Hazardous to Health Regulations 1994 (COSHH) place duties on employer to:
·         ensure that your exposure to PCBs is either prevented, or if this is not reasonably practicable, adequately controlled;
·         assess the risks to your health from PCBs and identify the measures which are needed to protect your health;
·         ensure that control measures are adequate and that you use them;
·         monitor your exposure;
·         provide you with information on the risks of PCBs and the steps which are necessary to protect your health.
Employer also have duties under COSHH to:
·         co-operate with your employer;
·         use protective measures and to report any defects.
3.      The Environmental Protection Act 1990 requires, amongst other things, waste holders to exercise a duty of care when disposing of certain materials.[2]

Ireland

The Waste Management (Hazardous Waste) Regulations 1998[3] of Ireland implement provisions of the EC Directive (96/59/EC) and sets out the requirements in terms of disposing of PCBs and registering holdings of PCBs. A holder of PCBs, used PCBs or contaminated equipment must:
1.      Decontaminate or dispose of used PCBs, contaminated equipment and the PCBs contained in such equipment as soon as possible. For contaminated equipment containing more than 5dm3 (5 litres) of PCBs:
·         By 31 December 2010, if the fluid content contains more than 0.05% by weight of PCBs. Transformers containing more than 0.05% by weight of PCBs must be decontaminated in accordance with a specific set of conditions;
·         At the end of its useful life if the fluid content contains between 0.005% and 0.05% by weight of PCBs.
2.      Label equipment containing more than 5 litres of PCBs and the doors of premises where such equipment is located. The labels must be indelible, easily visible and legible, stating that the equipment (or premises contain equipment) is “Contaminated by PCBs”. Where it is reasonable to assume that the fluid content of the equipment contains between 0.005% and 0.05% by weight of PCBs label as "PCBs contaminated 0.05%".
3.      Separate such PCBs or equipment from flammable materials and take precautions to avoid any risk of fire
4.      Operate a source separation program for equipment that contains less than 5 liters of PCBs and is a component of another piece of equipment, i.e., remove and arrange for the separate collection of such components with a view to their recovery or disposal.
5.      Give Notice to the EPA for all PCBs, used PCBs or contaminated equipment containing more than 5 litres of PCBs no later than the 1 September each year. To include: the name and address of the holder; the location and quantity of the PCBs or used PCBs; the location and description of the equipment; the quantity of PCBs contained in such equipment; the measures taken or proposed to be taken for the decontamination or disposal; and the date of giving such notice.
6.      Respect the prohibition of certain uses of PCBs:
o Importation, production or supply to another person of PCBs or contaminated equipment;
o Holding or use of PCBs or contaminated equipment, unless notified to the EPA;
o Separation of PCBs from other substances for the purpose of reusing the PCBs;
o Addition of PCBs to transformers or other equipment; and
o Maintenance of transformers containing PCBs, unless under certain circumstances






[1] “S.I. No. 220/2003 - European Communities (Dangerous Substances and Preparations) (Marketing and Use) Regulations 2003,” accessed February 23, 2016, http://www.irishstatutebook.ie/eli/2003/si/220/made/en/print.
[2] “HSE - Publications: Do You Know How to Work Safely with PC...,” accessed February 23, 2016, http://www.hse.gov.uk/pubns/msa19.htm.
[3] “S.I. No. 163/1998 - Waste Management (Hazardous Waste) Regulations, 1998,” accessed February 23, 2016, http://www.irishstatutebook.ie/eli/1998/si/163/made/en/print.