Sumber: Koran Sindo, Edisi 24-03-2016
Pic Credit: Adzaniah
Apakah Uber dan GoJek harus diregulasi? Secara prinsip, apabila suatu kegiatan ekonomi dapat berjalan lancar dengan sendirinya tanpa merugikan orang lain dan lingkungan, tidak perlu ada regulasi.
Meski demikian, apabila ada sedikit saja potensi pihak ketiga dan lingkungan dirugikan, di situ terdapat justifikasi untuk melakukan regulasi. Dalam kasus transportasi online seperti Uber dan Gojek, setidaknya ada beberapa pihak yang—apabila tidak terdapat regulasi yang memadai—dapat dirugikan. Pertama adalah sopir.
Karena status hukumnya bukan sebagai pekerja, sopir tidak mendapat perlindungan dari hukum ketenagakerjaan berupa hak-hak jaminan kesehatan, jaminan sosial, dan sebagainya. Kedua adalah penumpang. Dalam transportasi umum berizin ada beberapa standar yang harus dipenuhi. Misalnya, harus ada yang memastikan tersedia seatbelt yang berfungsi atau remnya tidak blong.
Apabila tidak, ada potensi bahaya. Ketiga adalah lingkungan sekitar seperti pengguna jalan yang dapat dibahayakan akibat pengemudi yang ugal-ugalan dalam mencari setoran. Bagi para ekonom, istilah dari fenomena-fenomena ini adalah ”eksternalitas negatif”. Tiga hal di atas adalah contoh singkat justifikasi mengapa Uber dan GoJek seharusnya diregulasi.
Mungkin ada yang akan berpendapat bahwa soal standar keamanan sebenarnya sudah diatur dalam peraturan lalu lintas dan transportasi umum, mengapa untuk Uber dan GoJek harus diatur khusus? Betul bahwa ada standar umum yang berlaku bagi setiap kendaraan, namun Uber dan GoJek berbeda karena aset kendaraan dipergunakan khusus untuk keperluan nonpribadi.
Di sini ada potensi ”moral hazard ” di mana standar keselamatan dikompromikan karena kepentingan finansial. Dengan kata lain, pemilik kendaraan pribadi akan lebih cenderung melakukan investasi terhadap keselamatan dibanding pemilik angkutan umum atau mobil yang diompreng -kan. Tapi, bukankah ada aturan tidak menjamin keselamatan, buktinya banyak juga angkutan umum yang terlibat kecelakaan dan sopirnya ugal-ugalan?
Betul, tapi di sini kita bicara ”efektivitas regulasi”, sementara sebelumnya kita bicara soal ”justifikasi regulasi”. Moral hazard dan eksternalitas negatif merupakan dua justifikasi utama untuk melakukan regulasi. Adalah kewajiban pemerintah untuk memastikan ongkos sosial dari kegiatan ekonomi ini minimum dan terefleksikan dalam harga yang dibayar. Bukankah GoJek lebih bagus dari ojek pangkalan karena sudah pasti penumpang diberikan helm dan masker? Betul.
Nah, sekarang kita bicara soal efektivitas regulasi. Soal GoJek yang memberikan helm kepada penumpangnya sebenarnya merupakan sinyal bahwa Uber dan GoJek memiliki potensi untuk meregulasi dirinya sendiri (self regulation).
Setiap kali berbicara regulasi, orang cenderung berpikir tentang aturan dan sanksi yang dikeluarkan pemerintah lewat peraturan perundangundangan. Ini sebenarnya kurang tepat karena pertanyaan kedua yang wajib dijawab ketika pertanyaan pertama tentang justifikasi regulasi sudah terjawab adalah dengan metode dan model apa regulasi akan dilakukan?
Model regulasi aturan dan sanksi dari pemerintah itu dikenal dengan metode ”commandand- control”. Metode ini paling klasik karena berbicara otoritas negara. Mayoritas publikasi akademik terakhir dalam arena regulasi mengusulkan self regulation bagi sharing economy. Self regulation berbeda dengan commandandcontrol karena dalam self regulation ada ”ruang regulasi” bagi pelaku ekonomi.
Dalam self regulation, pemerintah tidak perlu mengawasi detail tetek bengek standar keselamatan secara langsung dan memberikan sanksi kepada pelanggarnya karena hal itu dilakukan sendiri oleh pelaku ekonomi. Kenapa self regulation banyak diusulkan sebagai metode regulasi sharing economy? Jawabannya adalah platform bisnis ini dengan mudahnya (dan dengan ongkos yang sangat minim) bisa mengeluarkan dan memasukkan orang ke dalam kegiatan ekonomi.
Regulasi intinya adalah penentuan siapa yang boleh ikut serta dan siapa yang tidak serta standar apa yang dipakai untuk menentukan seseorang boleh ikut serta atau tidak. Uber dan GoJek punya standar untuk menentukan siapa yang bisa jadi sopir dan ikut ke dalammarketplace- nya. Apabila ada sopir yang ugal-ugalan, akan di-ban dari appnya dan di-blacklist sebagai sopir.
Standarstandar ini ”regulasi” juga walaupun tunduk kepada ”terms ofservice ” dan bukan peraturan perundang-undangan di bidang transportasi. Metode kedua yang dipakai untuk self regulation dalam sharing economy adalah sistem reputasi. Sistem reputasi ini dulu terkenal ketika dipakai oleh Ebay untuk me-rating penjual. Penjual yang punya rating tinggi memperoleh reputasi yang baik dan dipercaya oleh konsumen.
Pada hakikatnya, sistem reputasi ini merefleksikan kualitas suatu barang (atau dalam kasus GoJek dan Uber, suatu layanan). Kendati demikian, sistem ini tidak sempurna. Orang bisa memberikan rating baik karena sopirnya ganteng atau cantik atau rating buruk hanya karena sopirnya tidak ramah. Ihwal yang tidak kasatmata seperti rem blong dan sebagainya tidak dengan mudah terefleksikan dalam rating ini.
Bisa jadi sopirnya ganteng atau cantik, tapi remnya blong dan tetap saja orang memberikan rating yang bagus. Walaupun sistem reputasi ini tidak sempurna, setidaknya ini memberikan cerminan atas kualitaslayanan. Sisteminijugadapat disempurnakan untuk bisa merefleksikan standar pelayanan transportasi pada umumnya.
Apakah self regulation ini bisa efektif? Kita tidak tahu. Mau tidak mau, sharing economy melakukan disrupsi terhadap pemain lama. Tapi, yang jelas, self regulation akan tetap lebih baik dibandingkan no regulation atau pelarangan total. Uber dan GoJek juga seharusnya tertarik dengan proposal self regulation ini karena dengan metode ini intervensi pemerintah akan minim.
Ditambah lagi, yang sudah dan sedang mereka lakukan selama ini sebenarnya juga sebuah self regulation. Secara teoritis, kita bisa mengetahui apabila self regulation ini efektif ketika perubahan perilaku dan turunnya biaya sosial yang diakibatkan dari aktivitas ekonomi. Katakanlah, apabila standar keselamatan naik dan keluhan penumpang turun, kita bisa tahu bahwa metode ini efektif.
Yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah untuk menentukan bagian-bagian mana yang akan diberlakukan self regulation dan bagian-bagian mana yang tetap akan diberlakukan command-and-control. Bagi saya, prinsip yang harus diberlakukan dalam self regulation adalah same service, same standard. Artinya, standar-standar umum keselamatan transportasi harus berlaku sama bagi Uber dan GoJek maupun taksi konvensional.
Tinggal permasalahannya, bagaimana standar ini akan ditegakkan. Dalam regulasi commandand- control, standar layanan ini bisa ditegakkan oleh DLLAJ dengan melakukan KIR atau pengecekan kendaraan. Nah, dalam self regulation penegakan aturan harusnya dapat dilaksanakan oleh Uber dan GoJek sendiri. Caranya bagaimana, apakah petugas Uber harus memeriksa satu persatu armadanya?
Saya kira tidak. Bisa ditemukan cara lain agar sopir melaporkan sendiri kelaikan kendaraan. Soal jam kerja maksimal misalnya (karena dalam aturan kendaraan umum ada pem-batasan jam kerja sopir) bisa secara langsung dikalkulasikan lewat aplikasi yang ada dalam telepon genggam sopir.
Bagaimana kalau mereka menolak kepatuhan terhadap standar layanan dan keselamatan transportasi umum tersebut? Nah, kalau itu tidak apa-apa, silakan blokir saja sebab pemerintah punya kewajiban melindungi warganya.
MOHAMAD MOVA AL’AFGHANI
Direktur Center for Regulation, Policy and Governance (CRPG), Memperoleh PhD dalam Ilmu Hukum dari University of Dundee , UK
Recent Comments