,

Conventional regulations won't work for 'sharing' economies

Thursday, April 14, 2016


Image result for sharing economy


An excerpt from my OpEd in The Jakarta Post:

What is certain is that the old economy is being redefined. Even jobs are being redefined. Information technology is slowly but surely shifting “employee” into “workforce-as-service”. There will be fewer employees and more part-time work-from-home consultants. There will be fewer people going to offices and more people teleconferencing through virtual reality gadgets.

For lawyers, this means that the traditional elements of labor law, wages, authority (e.i. from a boss) and “a defined job”, are no longer fulfilled. The new workforce has more independence and outcome-rather-than-process orientation. So authority is rather irrelevant. They also receive commissions instead of wages. They also may not have a set of “defined jobs” — they may be working here and there on several projects.

For that reason, the existing Manpower Law may not be necessarily relevant for the sharing economy. Thus the government shouldn’t force manpower laws on Uber and Go-Jek. This is not to suggest that the new workforce should be deprived of their traditional protections — in terms of health insurance and pension funds and other benefits — that are traditionally provided by offices. It simply means that the government needs to think of new ways so that these protections remain available when the workforce has shifted from employment to services.

The same reason goes for transportation platforms. Taxis, for example, must comply with minimum service standards, such as being equipped with taximeters, assurance of driver’s physical condition, maximum working hours, vehicle maximum age and general safety standards such as functional seatbelts, functional brakes and regular checking to ensure that the vehicle is roadworthy. All these standards must be available to Uber’s or GrabTaxi’s customers too.

The real problem is how to apply these standards to a sharing economies platform. The government should not confuse regulatory goals with regulatory formalities. Subjecting vehicles to yellow license plates or registering them with specific licenses are regulatory formalities (means) to regulatory goals (ends), which is, among others, safety.

Now how do we get them to obey these standards? The current academic proposal from experts worldwide is through self-regulation. Some called them “shared regulations”, which denotes shared regulatory competence among several regulatory authorities and the companies themselves. Unfortunately this idea has not caught the attention of Indonesian policymakers and they are preoccupied with applying existing legal definitions to Uber, Grab or Go-Jek. As I previously mentioned, it won’t work because they can’t be categorized as per se IT or transportation companies.

See full article here.

Ini Dokumen AMDAL (ANDAL) Reklamasi Pantai Utara Jakarta

Wednesday, April 13, 2016



Perdebatan seputar reklamasi Pantai Utara Jakarta seharusnya menggunakan data-data yang valid. Dalam hal pembangunan yang berdampak lingkungan, data tersebut seharusnya tercantum dalam Dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (ANDAL) yang merupakan bagian dari proses AMDAL. 

Data ANDAL bisa didapatkan di website Pemprov DKI dengan keyword "reklamasi" (sayangnya perlu login dan register). Tampak dari website bahwa data dokumen dokumen tersebut diunggah 2014-04-12. Tidak semua dokumen berhasil kami unduh, sebagian tidak belum ditemukan link nya.

Transparansi AMDAL ini penting karena pihak yang terkena dampak dapat melihat rencana kegiatan dan alternatif-alternatifnya. Pihak yang tidak setuju juga dapat mendasarkan argumennya perihal apakah analisa yang dilakukan valid atau tidak.

Berikut Data AMDAL yang bisa kami dapatkan:


Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Kegiatan Reklamasi Pulai I Bagian Barat (Ancol) Seluas 202,5 HA

Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Reklamasi Pulau H. Kelurahan Pluit (luas ± 63 Ha)

Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Reklamasi Pulau C, D, E (Pantai Kapuk Naga Indah, Kapuk Muara/Kamal Muara, Penjaringan)




Lihat juga artikel Kompas berikut.

, , ,

Bagaimana seharusnya sharing economy diatur?

Monday, April 4, 2016



(Image: Psarros)

Literatur regulasi baru mulai ramai membahas hal ini sejak 2014 lalu. Satu hal yang banyak disepakati adalah perusahaan yang menyediakan platform marketplace seperti di atas membutuhkan kategori tersendiri di luar dari perusahaan IT atau perusahaan transportasi. Perusahaan-perusahaan ini sebaiknya diatur dengan model self-regulation (Cohen-Sundarajan, 2015).

Self-regulation dipraktikkan, misalnya, dalam pengaturan organisasi profesi seperti advokat, notaris, kedokteran, dan dalam beberapa hal, penjara dan sekolah. Dalam banyak contoh tersebut regulasi tak lagi terpusat pada pemerintah melainkan berkembang dalam lokus-lokus tersendiri (Black 2001).

Justifikasi atas self-regulation ini setidaknya bisa kita lihat dari (i) kapasitas regulasi dan (ii) insentif regulasi.

Dari sisi kapasitas regulasi, tampak bahwa ongkos regulasi yang harus dibayar oleh pemerintah akan besar apabila harus mendata satu persatu pengemudi Gojek dan Uber dan melakukan pengawasan terhadap ketaatan setiap pengemudinya atas standar pelayanan minimal. Sementara itu, Gojek dan Uber lebih memiliki kapasitas karena secara otomatis punya data dari setiap pengemudi, lengkap dengan pemeringkatannya serta keluhan penumpang atas pengemudi.

Sedangkan dari sisi insentif regulasi, kita dapat menilainya lewat dua faktor: (a) insentif untuk menegakkan dan (b) insentif untuk menaati aturan. Dari sisi insentif untuk menegakkan, aparat pemerintah memiliki insentif, misalnya, lewat lewat promosi jabatan. Namun demikian, Gojek/Uber memiliki insentif lebih karena berhubungan dengan reputasi dan kualitas layanannya. Biaya yang diperlukan perusahaan tersebut dalam memutuskan pemilik sumberdaya dari jaringan sangat kecil dibandingkan dengan, misalnya, biaya dalam melakukan sidang tilang.

Demikian juga dari sisi ketaatan. Soal memberikan helm bagi penumpang, misalnya, insentif utama bagi pengemudi ojek adalah akan ditangkap polisi. Namun, apabila ada ancaman lain seperti dilaporkan oleh penumpang kepada perusahaan, maka insentifnya dalam menaati peraturan akan bertambah.

Dengan demikian, peranan pemerintah (atas menu-menu regulasi tertentu) bukanlah sebagai penegak langsung atas aturan (enforcer) melainkan penegak tidak langsung. Pemerintah cukup membuat kerangkanya regulasinya dan meminta akuntabilitas ketaatan secara umum dari perusahaan. Yang menjadi pelaksana dan penegak regulasi adalah perusahaan-perusahaan tersebut langsung kepada para pengemudi.

Pemerintah bisa membuat standar tingkat ketaatan rata-rata minimal dari pengemudi (misalnya, jumlah rata rata kecelakaan) dan kemudian menjatuhkan denda apabila perusahaan tidak memenuhinya. Dengan cara ini, Uber/Gojek akan dipacu untuk terus melakukan penyuluhan keselamatan kepada pengemudi.

Baca artikel lengkapnya di Geotimes:
Jokowi dan Problem Regulasi Ekonomi Berbagi oleh Mohamad Mova Al'Afghani

End of Term Report OGP IRM

Sunday, April 3, 2016

Image result for ogp irm


Mekanisme Pelaporan Independen Kemitraan Pemerintahan Terbuka saat ini memasuki tahapan laporan akhir (End of Term Report). Laporan akhir ini akan melakukan pendataan capaian target Pemerintahan Terbuka Indonesia periode Juni 2014 sampai dengan September 2015. Sebelumnya, IRM telah mempublikasikan laporan Mid Term OGP (bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.)

Terdapat beberapa hal yang menjadi perhatian IRM dalam End of Term Report ini. diantaranya adalah finalisasi struktur dan organisasi sekretariat nasional Open Government Indonesia. Pada OGP Summit November tahun lalu di Mexico, perwakilan pemerintah menyatakan rencana pembentukan sekretariat nasional yang akan dipimpin oleh Kantor Staf Presiden dan dilaksanakan oleh Bappenas serta Kementerian Luar Negeri. IRM akan melaporkan sejauhmana realisasi dari rencana ini.

Selain itu, IRM akan melakukan evaluasi mengenai target yang belum dicapai oleh Pemerintah Indonesia pada periode pelaporan sebelumnya.

Berikut ringkasan keberhasilan capaian Indonesia sebegaimana dilaporkan dalam Mid Term Report:



Untuk periode laporan akhir ini, publik dan badan badan pemerintah masih memiliki kesempatan untuk memberikan masukan kepada IRM sampai dengan tanggal 23 April 2016. 



IRM Indonesia
Kontak: 
Mohamad Mova AlAfghani (mova@alafghani.info)
Pius Widiyatmoko (pwpiupiu@gmail.com)


, , ,

Regulatory Framework for Local Scale Wastewater / Kerangka Regulasi Air Limbah Skala Lokal

Thursday, March 31, 2016


CRPG recently completed its report (currently in layout stage) on the regulation of local scale wastewater commisioned for ISF UTS under the ADRAS project. We propose that regulatory framework specifically acknowledge local/community scale wastewater in the spectrum of wastewater provision and that community based organizations are accorded with distinct rights and obligations as a service provider. The template that we propose (above picture) can be incorporated into regional bylaws/regional regulation or national regulation.

To download the high quality resolution mind map, "save as" this link.

,

Regulation of Sharing Economy/ Regulasi Sharing Economy

Wednesday, March 30, 2016



This mindmap (v.1.0.) lists issues and explores regulatory methods for sharing economies. Banning/disconnecting users from marketplace and rating/trust system are proposed as part of the new regulatory tools.


To view/download the full size mind map, go to here.

, , , ,

Lecture on the regulation of sharing economies

Monday, March 28, 2016

The lecture explores sharing economies, externalities associated by it and whether self-regulation (or shared regulation) can be applied to sharing economy platforms. The lecture use the case of Uber (transportation platform) in Indonesia. Session 1 contains slides on sharing economy. Session 2 introduce basic regulation theories and apply it into sharing economy. The lecture contain videos/multimedia, you need to click on the box to play it. 





, , ,

Hasil Analisa Regulasi Air Limbah Skala Lokal

Sunday, March 27, 2016





Berikut adalah hasil analisa regulasi air limbah skala lokal, dipresentasikan pada pertemuan di Ditjen Cipta Karya dan Bappenas, Maret 8 dan 9, 2016. Riset ini terselenggara atas kerjasama antara ISF-UTS dengan CRPG, ODI dan Borda atas dana dari Australia Development Research Awards (ADRAS) Scheme.

Untuk mendownload versi penuhnya silahkan (save as) link ini.

Laporan akhir sedang dalam proses layout dan penterjemahan.

, , , ,

Dapatkah Uber dan GoJek Mengatur Dirinya Sendiri?

Thursday, March 24, 2016



Sumber: Koran Sindo, Edisi 24-03-2016

Pic Credit: Adzaniah

Apakah Uber dan GoJek harus diregulasi? Secara prinsip, apabila suatu kegiatan ekonomi dapat berjalan lancar dengan sendirinya tanpa merugikan orang lain dan lingkungan, tidak perlu ada regulasi. 

Meski demikian, apabila ada sedikit saja potensi pihak ketiga dan lingkungan dirugikan, di situ terdapat justifikasi untuk melakukan regulasi. Dalam kasus transportasi online seperti Uber dan Gojek, setidaknya ada beberapa pihak yang—apabila tidak terdapat regulasi yang memadai—dapat dirugikan. Pertama adalah sopir. 

Karena status hukumnya bukan sebagai pekerja, sopir tidak mendapat perlindungan dari hukum ketenagakerjaan berupa hak-hak jaminan kesehatan, jaminan sosial, dan sebagainya. Kedua adalah penumpang. Dalam transportasi umum berizin ada beberapa standar yang harus dipenuhi. Misalnya, harus ada yang memastikan tersedia seatbelt yang berfungsi atau remnya tidak blong. 

Apabila tidak, ada potensi bahaya. Ketiga adalah lingkungan sekitar seperti pengguna jalan yang dapat dibahayakan akibat pengemudi yang ugal-ugalan dalam mencari setoran. Bagi para ekonom, istilah dari fenomena-fenomena ini adalah ”eksternalitas negatif”. Tiga hal di atas adalah contoh singkat justifikasi mengapa Uber dan GoJek seharusnya diregulasi. 

Mungkin ada yang akan berpendapat bahwa soal standar keamanan sebenarnya sudah diatur dalam peraturan lalu lintas dan transportasi umum, mengapa untuk Uber dan GoJek harus diatur khusus? Betul bahwa ada standar umum yang berlaku bagi setiap kendaraan, namun Uber dan GoJek berbeda karena aset kendaraan dipergunakan khusus untuk keperluan nonpribadi. 


Di sini ada potensi ”moral hazard ” di mana standar keselamatan dikompromikan karena kepentingan finansial. Dengan kata lain, pemilik kendaraan pribadi akan lebih cenderung melakukan investasi terhadap keselamatan dibanding pemilik angkutan umum atau mobil yang diompreng -kan. Tapi, bukankah ada aturan tidak menjamin keselamatan, buktinya banyak juga angkutan umum yang terlibat kecelakaan dan sopirnya ugal-ugalan? 



Betul, tapi di sini kita bicara ”efektivitas regulasi”, sementara sebelumnya kita bicara soal ”justifikasi regulasi”. Moral hazard dan eksternalitas negatif merupakan dua justifikasi utama untuk melakukan regulasi. Adalah kewajiban pemerintah untuk memastikan ongkos sosial dari kegiatan ekonomi ini minimum dan terefleksikan dalam harga yang dibayar. Bukankah GoJek lebih bagus dari ojek pangkalan karena sudah pasti penumpang diberikan helm dan masker? Betul. 



Nah, sekarang kita bicara soal efektivitas regulasi. Soal GoJek yang memberikan helm kepada penumpangnya sebenarnya merupakan sinyal bahwa Uber dan GoJek memiliki potensi untuk meregulasi dirinya sendiri (self regulation). 



Setiap kali berbicara regulasi, orang cenderung berpikir tentang aturan dan sanksi yang dikeluarkan pemerintah lewat peraturan perundangundangan. Ini sebenarnya kurang tepat karena pertanyaan kedua yang wajib dijawab ketika pertanyaan pertama tentang justifikasi regulasi sudah terjawab adalah dengan metode dan model apa regulasi akan dilakukan? 



Model regulasi aturan dan sanksi dari pemerintah itu dikenal dengan metode ”commandand- control”. Metode ini paling klasik karena berbicara otoritas negara. Mayoritas publikasi akademik terakhir dalam arena regulasi mengusulkan self regulation bagi sharing economy. Self regulation berbeda dengan commandandcontrol karena dalam self regulation ada ”ruang regulasi” bagi pelaku ekonomi. 



Dalam self regulation, pemerintah tidak perlu mengawasi detail tetek bengek standar keselamatan secara langsung dan memberikan sanksi kepada pelanggarnya karena hal itu dilakukan sendiri oleh pelaku ekonomi. Kenapa self regulation banyak diusulkan sebagai metode regulasi sharing economy? Jawabannya adalah platform bisnis ini dengan mudahnya (dan dengan ongkos yang sangat minim) bisa mengeluarkan dan memasukkan orang ke dalam kegiatan ekonomi. 



Regulasi intinya adalah penentuan siapa yang boleh ikut serta dan siapa yang tidak serta standar apa yang dipakai untuk menentukan seseorang boleh ikut serta atau tidak. Uber dan GoJek punya standar untuk menentukan siapa yang bisa jadi sopir dan ikut ke dalammarketplace- nya. Apabila ada sopir yang ugal-ugalan, akan di-ban dari appnya dan di-blacklist sebagai sopir. 



Standarstandar ini ”regulasi” juga walaupun tunduk kepada ”terms ofservice ” dan bukan peraturan perundang-undangan di bidang transportasi. Metode kedua yang dipakai untuk self regulation dalam sharing economy adalah sistem reputasi. Sistem reputasi ini dulu terkenal ketika dipakai oleh Ebay untuk me-rating penjual. Penjual yang punya rating tinggi memperoleh reputasi yang baik dan dipercaya oleh konsumen. 



Pada hakikatnya, sistem reputasi ini merefleksikan kualitas suatu barang (atau dalam kasus GoJek dan Uber, suatu layanan). Kendati demikian, sistem ini tidak sempurna. Orang bisa memberikan rating baik karena sopirnya ganteng atau cantik atau rating buruk hanya karena sopirnya tidak ramah. Ihwal yang tidak kasatmata seperti rem blong dan sebagainya tidak dengan mudah terefleksikan dalam rating ini. 



Bisa jadi sopirnya ganteng atau cantik, tapi remnya blong dan tetap saja orang memberikan rating yang bagus. Walaupun sistem reputasi ini tidak sempurna, setidaknya ini memberikan cerminan atas kualitaslayanan. Sisteminijugadapat disempurnakan untuk bisa merefleksikan standar pelayanan transportasi pada umumnya. 



Apakah self regulation ini bisa efektif? Kita tidak tahu. Mau tidak mau, sharing economy melakukan disrupsi terhadap pemain lama. Tapi, yang jelas, self regulation akan tetap lebih baik dibandingkan no regulation atau pelarangan total. Uber dan GoJek juga seharusnya tertarik dengan proposal self regulation ini karena dengan metode ini intervensi pemerintah akan minim. 



Ditambah lagi, yang sudah dan sedang mereka lakukan selama ini sebenarnya juga sebuah self regulation. Secara teoritis, kita bisa mengetahui apabila self regulation ini efektif ketika perubahan perilaku dan turunnya biaya sosial yang diakibatkan dari aktivitas ekonomi. Katakanlah, apabila standar keselamatan naik dan keluhan penumpang turun, kita bisa tahu bahwa metode ini efektif. 



Yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah untuk menentukan bagian-bagian mana yang akan diberlakukan self regulation dan bagian-bagian mana yang tetap akan diberlakukan command-and-control. Bagi saya, prinsip yang harus diberlakukan dalam self regulation adalah same service, same standard. Artinya, standar-standar umum keselamatan transportasi harus berlaku sama bagi Uber dan GoJek maupun taksi konvensional. 



Tinggal permasalahannya, bagaimana standar ini akan ditegakkan. Dalam regulasi commandand- control, standar layanan ini bisa ditegakkan oleh DLLAJ dengan melakukan KIR atau pengecekan kendaraan. Nah, dalam self regulation penegakan aturan harusnya dapat dilaksanakan oleh Uber dan GoJek sendiri. Caranya bagaimana, apakah petugas Uber harus memeriksa satu persatu armadanya? 



Saya kira tidak. Bisa ditemukan cara lain agar sopir melaporkan sendiri kelaikan kendaraan. Soal jam kerja maksimal misalnya (karena dalam aturan kendaraan umum ada pem-batasan jam kerja sopir) bisa secara langsung dikalkulasikan lewat aplikasi yang ada dalam telepon genggam sopir. 



Bagaimana kalau mereka menolak kepatuhan terhadap standar layanan dan keselamatan transportasi umum tersebut? Nah, kalau itu tidak apa-apa, silakan blokir saja sebab pemerintah punya kewajiban melindungi warganya.


MOHAMAD MOVA AL’AFGHANI 
Direktur Center for Regulation, Policy and Governance (CRPG), Memperoleh PhD dalam Ilmu Hukum dari University of Dundee , UK 

Regulasi.Net : Search Engine Hukum dan Regulasi (Alpha)

Saturday, March 19, 2016






CRPG sedang mengembangkan Regulasi.Net, portal search engine hukum dan regulasi. Saat ini portalnya masih dalam tahap awal pengembangan (alpha) dan akan membutuhkan banyak uji coba sebelum bisa beroperasi secara baik. Search engine ini dimaksudkan untuk mempermudah penelitian dan penelusuran hukum dan meperoleh data data hukum secara gratis.

Seperti halnya search engine pada umumnya (Google, Bing, dsb) Regulasi.Net melakukan crawling kepada website-website yang memiliki tema hukum. Saat ini peraturan dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri sampai Peraturan Daerah dan Putusan beberapa badan peradilan telah diindex. 

Apabila ada usulan atau saran silahkan menghubungi kami di contact.crpg(at)crpg.info 

Regulasi.Net


, ,

Mengenal Bahaya Polychlorinated Biphenyls

Wednesday, February 24, 2016


Polychorinated Biphenyls (PCB) dapat menyebabkan kanker, kemandulan, penyakit cardiovaskular, gangguan sistem syaraf, gangguan endokrin, gangguan imunitas dan berbagai permasalahan kesehatan lainnya. PCB -- karena sifat isolatornya -- banyak diganukan pada peralatan listrik seperti trafo, kapasitor, Air Conditioner.

Karena termasuk kedalam Bahan Berbahaya dan Beracun, tim dari CRPG, UNIDO dan KLH saat ini sedang memformulasikan regulasi dan ESM (environmentally sound management) PCB di Indonesia. Regulasi PCB akan memberikan dampak berbagai industri yang menggunaan peralatan tersebut, khususnya industri energi/ketenagalistrikan, pabrik-pabrik dan lain sebagainya.






Update lain dari CRPG tentang PCB:


Website KLH untuk PCB.

, ,

PCB Regulations in European Union

Monday, February 22, 2016



PCB’s have long been recognised as posing a threat to the environment because of their toxicity, persistence and tendency to bioaccumulate (i.e. to build up in the bodies of animals, particularly at the top of the food chain). Although the use of PCBs has been reduced greatly since the 1970s it is recognised that those still remaining in existing equipment pose a continuing environmental threat.

In European Union, about Polychlorinated Byphenils (PCBs) is regulated through EC Directive 96/59 EC on the disposal of PCBs and Polychlorinated Terphenils (PCTs), which requires the preparation of national inventories and the labelling/disposal of all PCB holdings.

Also there are European Communities (Dangerous Substances and Preparations)(Marketing and Use) Regulations 2003.[1] These regulations implement Council Directives 85/467/EEC and 89/677/EEC in relation to polychlorinated biphenyls (except mono and dichlorinated biphenyls), PCTs, and preparations, including waste oils, with a PCB or PCT weight content higher than 0.005%. These substances may not be used, except in designated applications that were in service prior to 30 June 1986. Equipment and plant containing PCBs or PCTs are required to display instructions concerning disposal and maintenance and use of equipment and plant containing them.

Member states then implement this directive into their municipal laws and regulations.

Below are laws and regulations about PCBs in several member states of EU :

United Kingdom
1.      The Health and Safety at Work etc Act 1974 requires employers to ensure so far as is reasonably practicable the health, safety and welfare of all their employees at work. You are required to co-operate with your employer, for example by using safety equipment and working methods as instructed.
2.      The Control of Substances Hazardous to Health Regulations 1994 (COSHH) place duties on employer to:
·         ensure that your exposure to PCBs is either prevented, or if this is not reasonably practicable, adequately controlled;
·         assess the risks to your health from PCBs and identify the measures which are needed to protect your health;
·         ensure that control measures are adequate and that you use them;
·         monitor your exposure;
·         provide you with information on the risks of PCBs and the steps which are necessary to protect your health.
Employer also have duties under COSHH to:
·         co-operate with your employer;
·         use protective measures and to report any defects.
3.      The Environmental Protection Act 1990 requires, amongst other things, waste holders to exercise a duty of care when disposing of certain materials.[2]

Ireland

The Waste Management (Hazardous Waste) Regulations 1998[3] of Ireland implement provisions of the EC Directive (96/59/EC) and sets out the requirements in terms of disposing of PCBs and registering holdings of PCBs. A holder of PCBs, used PCBs or contaminated equipment must:
1.      Decontaminate or dispose of used PCBs, contaminated equipment and the PCBs contained in such equipment as soon as possible. For contaminated equipment containing more than 5dm3 (5 litres) of PCBs:
·         By 31 December 2010, if the fluid content contains more than 0.05% by weight of PCBs. Transformers containing more than 0.05% by weight of PCBs must be decontaminated in accordance with a specific set of conditions;
·         At the end of its useful life if the fluid content contains between 0.005% and 0.05% by weight of PCBs.
2.      Label equipment containing more than 5 litres of PCBs and the doors of premises where such equipment is located. The labels must be indelible, easily visible and legible, stating that the equipment (or premises contain equipment) is “Contaminated by PCBs”. Where it is reasonable to assume that the fluid content of the equipment contains between 0.005% and 0.05% by weight of PCBs label as "PCBs contaminated 0.05%".
3.      Separate such PCBs or equipment from flammable materials and take precautions to avoid any risk of fire
4.      Operate a source separation program for equipment that contains less than 5 liters of PCBs and is a component of another piece of equipment, i.e., remove and arrange for the separate collection of such components with a view to their recovery or disposal.
5.      Give Notice to the EPA for all PCBs, used PCBs or contaminated equipment containing more than 5 litres of PCBs no later than the 1 September each year. To include: the name and address of the holder; the location and quantity of the PCBs or used PCBs; the location and description of the equipment; the quantity of PCBs contained in such equipment; the measures taken or proposed to be taken for the decontamination or disposal; and the date of giving such notice.
6.      Respect the prohibition of certain uses of PCBs:
o Importation, production or supply to another person of PCBs or contaminated equipment;
o Holding or use of PCBs or contaminated equipment, unless notified to the EPA;
o Separation of PCBs from other substances for the purpose of reusing the PCBs;
o Addition of PCBs to transformers or other equipment; and
o Maintenance of transformers containing PCBs, unless under certain circumstances






[1] “S.I. No. 220/2003 - European Communities (Dangerous Substances and Preparations) (Marketing and Use) Regulations 2003,” accessed February 23, 2016, http://www.irishstatutebook.ie/eli/2003/si/220/made/en/print.
[2] “HSE - Publications: Do You Know How to Work Safely with PC...,” accessed February 23, 2016, http://www.hse.gov.uk/pubns/msa19.htm.
[3] “S.I. No. 163/1998 - Waste Management (Hazardous Waste) Regulations, 1998,” accessed February 23, 2016, http://www.irishstatutebook.ie/eli/1998/si/163/made/en/print.

, , ,

About Open Government Partnership and Independent Reporting Mechanism

Thursday, February 18, 2016

Background
Corruption is one of the most serious problem that Indonesia currently have. To fight corruption, do citizen empowerment, and strengthening the governance is important to create a better country, to make a better life for all of the citizen. In order to achieve that, since 2011 Indonesia government partnered with Open Government Partnership (OGP), a voluntary international initiative that aims to secure commitments from governments to their citizenry to promote transparency, empower citizens, fight corruption, and harness new technologies to strengthen governance.

OGP Process
Indonesia as countries participating in OGP has to follow a process for consultation during the development of their action plan, and during implementation.
In this 2014-2015 period, Indonesia has reached its third national plan, where the scope has been expanded. There was even called SOLUSIMU, a contest where citizens could submit their ideas for improving public services for inclusion in the Action Plan, to make the betterment on the exclusivity-hole from the previous process on the previous period. However, the lack of advance notice, lack of evidence of consultation events, and lack of clarity on the incorporation of citizen-generated ideas in the action plan undermined the government’s increased public participation efforts.
Core Team meetings served as the multi-stakeholder consultation forum. It is found that there still was very little meaningful consultation and collaboration between government and wider civil society on the commitment implementation. The Core Team meetings then focused on raising awareness of the OGP process, and increasing public participation especially through SOLUSIMU contest, but the team did not publicize or track progress on commitments.

Methodological note
In Indonesia, The Independent Reporting Mechanism of OGP has partnered with Mohammad Mova Al’Afghani of Centre for Regulation, Policy, and Governance (CRPG), that carried out the evaluation of the development and implementation of this Indonesia’s third action plan. CRPG reviewed the government’s self-assesment report, gathered the views of civil society, and interviewed related government officials and stakeholders. After that, OGP staff and a panel of experts reviewed the report.
CPRG reviewed three key documents prepared by the government: a report on Indonesia’s third action plan submitted to the OGP portal in 2014, the internal document detailing action plan commitments and milestones published in Bahasa Indonesian in April 2015, and the government self-assessment report (GSAR) published in April 2015.
A stakeholder forum in FGD model was organized in Jakarta by The IRM researcher and Medialink, a civil society organization (CSO), in order to gather the opinion of multiple stakeholders.
Report Coverage
This report covers the first year of implementation of Indonesia’s third action plan, 7 November 2014 through 31 July 2015. Beginning in 2015, the IRM also publishes end of term reports to account for the final status of progress at the end of the action plan’s two-year period. This report follows on two earlier reviews of OGP performance, “Indonesia Progress Report 2011-2013” and “Indonesia Special Accountability Report 2013.” These reports covered the development and implementation of the first action plan as well as the development and implementation of the second action plan from 1 January 2013 through 31 December 2013.





, ,

Mengenal Persistent Organic Pollutants (POPs)






Tahukah anda bahwa persistent organic pollutants dapat mengakibatkan berbagai masalah kesehatan diantaranya gangguan pada sistem hormon, gangguan pada sistem reproduksi, obesitas, penyakit kardiovaskuler serta penyakit jantung?

Apa itu Persistent Organic Pollutants (POPs)? POPs adalah bahan kimia yang berbahaya bagi manusia, hewan dan lingkungan. POPs memiliki beberapa sifat:  tahan urai (persistent), terakumulasi dalam tubuh dan beracun. 

Karena bahayanya, POPs diatur dalam Konvensi Stockholm. Berikut adalah contoh dari POPs, yang diberi nama "dirty dozen", yang merupakan 12 daftar bahan kimia pertama yang di klasifikasikan dalam Konvensi Stockholm. 


Berbagai negara telah meratifikasi Konvensi Stockholm, termasuk Indonesia.


CRPG pada saat ini sedang melakukan pengkajian regulasi bahan kimia di Indonesia, khususnya mengenai POPs dan PCB, bekerjasama dengan UNIDO dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.