Politik Jalan Ketiga Anies
Sunday, May 7, 2017
Mohammad Jibriel Avessina
Politik “Jalan ketiga” Anies[1]
Kemunculan Anies Baswedan dalam putaran kedua pilkada DKI merupakan sebuah
peristiwa politik yang menarik untuk diulas.
Dari segi politik jejak rekam figur Anies Baswedan dikenal unik,beragam dan fleksibel, Anies dikenal publik pernah
ikut mencalonkan diri sebagai presiden dalam konvensi partai demokrat pada
tahun 2013, setelah itu anies ikut mengemban
peran vital dalam tim pemenangan Jokowi sebagai presiden, lalu sekarang
dicalonkan sebagai gubenur dari partai-partai politik oposisi. Namun demikian ada satu benang merah yang
konsisten,penampilannya dalam ruang publik selalu memukau, serta berkeinginan hadir
sebagai alternative baru dalam politik . Bila disimpulkan, seorang
Anies merupakan sosok pemimpin dangan gaya Solidarity maker yakni suatu tipe pemimpin klasik khas Indonesia.
Tipologi solidarity maker tersebut
dicetuskan oleh Hebert Feith dalam
bukunya The Decline of Constitutional
democracy in Indonesia (Feith, 1962)
sebagai pemimpin khas yang punya pola komunikasi
yang baik, hadir dalam merangkul beragam kelompok kelompok kepentingan serta
berbicara tentang gagasan orisinil yang
besar. Ada pesan penting yang selalu
disampaikan oleh Anies dalam rangkaian gagasan populernya tentang merajut tenun kebangsaan ataupun melunasi janji kemerdekaan, Anies konsisten memperjuangkan gagasan untuk menjaga keutuhan modal sosial sebagai kunci
kehidupan bermasyarakat. Perolehan suaranya yang mencapai sekitar
57,95 persen menurut hitungan resmi KPU, menunjukan keberagaman harapan dukungan komuniti-komuniti akar rumpun
yang relatif besar terhadap
kepemimpinannya. Dalam konteks ini setidaknya ada dua hal yang menarik untuk
diulas lebih dalam untuk membaca tawaran
gagasan kepemimpinan politik Anies .
Pertama, Anies merupakan elit
pertama yang menawarkan diskusi terbuka secara massal,masuk ke dalam arena mainstream isu isu hak ekonomi sosial sebagai platform
utama dalam kampanye politiknya . Tawaran gagasan Anies tersebut memberikan
alternatif jalan tengah dari kontestasi politik elektoral yang telah
jenuh diwarnai oleh isu-isu sipil dan
politik yang terbagi dalam dua arus besar yakni arus konservatif maupun arus
liberal. Pilihan Anies untuk mengusung gagasan isu sosial ekonomi sejalan
dengan situasi masyarakat yang menghadapi ketimpangan sosial ekonomi yang
cukup parah.
Gagasan ini cukup
simpatik,ditengah tengah arus wacana politik perbedaan (politics of difference) yang mengeksplorasi atribut dan identitas
sebagai komoditas politik menjadi sesuatu mainstream
di tengah masyarakat. Anies melalui gagasan isu sosial-ekonomi
melangkah maju membahas masalah masalah
masyarakat yang kerapkali diabaikan
dalam tataran elit.
Anies,melalui isu ekonomi-sosial mampu menghadirkan satu jalan blok politik
baru,Anies mampu merekatkan beragam
komunitas yang berbeda pilihan dalam isu-isu sipil dan politik. Kelompok
konservatif-relijius dalam gerakan Tarbiyah yang merupakan basis utama PKS,
Komunitas-komunitas Patriotik yang
merupakan basis Partai Gerindra, Kaukus kelompok kelompok kaum miskin kota yang
merasakan dampak langsung dari kebijakan
relokasi yang dilaksanakan oleh lawan politiknya, kelompok pro lingkungan
hingga jaringan aktivis tata kota yang menghendaki perubahan penataan Jakarta
dengan mengedepankan isu isu ekonomi sosial.
Kedua, platform dan narasi
gagasan-gagasan oleh Anies mengingatkan
kita atas prinsip-prinsip “ jalan ketiga” (Third
Way) Giddens, hal ini misalnya terlihat dari pilihan garis ideologis “Jalan Ketiga” yakni
akomodatif dengan pasar, perlindungan atas nilai nilai komunitas,proteksi atas lingkungan serta
mendorong beragam program kesejahteraan untuk masyarakat (Giddens, 1998). Posisi Anies dalam mendorong perlindungan atas nilai nilai komunitas, dapat dilihat pilihannya dalam menolak kebijakan “relokasi’ dalam penataan perkotaan karena mecerabut akar sejarah,
identitas, serta terbentuknya jaringan ekonomis masyarakat marjinal miskin
perkotaan di Pinggiran, posisi Anies dalam
menolak proses reklamasi dalam mekanisme pembentukan pulau pulau buatan
menunjukan dirinya memiliki posisi dalam
perlindungan atas lingkungan hidup.
Kita juga dapat menemukan komitmen-komitmen dalam platform politik Anies
dalam mendorong tanggung jawab negara untuk kesejahteraan warganya, misalnya
komitmen untuk menyediakan public housing,Komitmen untuk
mewujudkan program kewirausahaan
berbasis komunitas dengan keinginan untuk melahirkan 200.000
Wirausaha baru yang muncul sentra
sentra usaha terpadu hingga pada level kecamatan. Anies juga menegaskan komitmennya dengan
tawaran meningkatkan kualitas atas program kesejahteraan yang telah disusun oleh rezim terdahulu yaitu dengan janji program KJP plus
maupun KJS Plus .
Tantangan politik ke depan.
Tetapi posisi Anies sebagai figur
pemimpin Solidarity Maker yang solid
bukan hadir tanpa celah. Setidaknya ada tiga hal utama yang harus dibuktikannya
pada publik luas. Persoalan pertama, sejauhmana Anies mampu melewati proses
transisi 6 bulan secara mulus dan gemilang, beragam persoalan harus dihadapi
pada masa inter-periode transisi. Persoalan
kedua sejauhmana kontestasi dinamika politik dalam internal kaukus politiknya pada masa adminsitrasi
pemerintahannya mampu untuk bertahan
komitmen “jalan ketiga” Anies. Maka
sedari awal Anies harus tegas untuk
meletakan agenda ekonomi social dan budaya (EKOSOB) sebagai common program yang mengikat. Sehingga, dalam pertarungan power interplay dalam internal kaukus politiknya, baik dalam
kebijakan publik maupun negosiasi distribusi
kekuasaan terhadap kelompok
pendukungnya tidak boleh menggeser Common Program Ekonomi,Sosial dan Budaya
. Persoalan ini dikuti oleh adalah
persoalan keraguan bagi sebagian publik kelas menengah bahwa Rezim Anies akan mampu
fokus menurunkan gagasan-gagasan besar dalam detail detail perencanaan kerja yang bersifat apik dan konkrit.
Persoalan ketiga, Anies perlu
membuktikan dalam masa kepemimpinannya,mampu mengelola keterancaman keberagaman, seperti yang menjadi fokus tudingan kelompok kelompok
liberal atas sentimen kehadiran kelompok konservatif politik yang
mendukungnya sejak awal, sehingga ketakutan atas keterancaman keberagaman
identitas perlu untuk dijawab rezim
Anies.
Pertama, beragam permasalahan
telah harus dihadapi pada masa masa “interperiode” kepemimpinan baru Anies,
rencana penggusuran kembali kampung Aquarium yang kemungkinan akan dilaksanakan
dalam waktu dekat,padahal Anies memiliki pendekatan yang jauh berbeda dalam
melihat persoalan relokasi.
Dalam sisi lain, sejauh mana
Anies dituntut mampu melakukan lobi pada petahanan sehingga program program kerja andalannya
yang pro rakyat yakni DP 0 Rupiah,One Kecamatan,One Center (OKE OCE), KJS Plus
dan KJP Plus mampu diakomodasi dalam APBD-P 2017 serta masuk dalam Kebijakan
Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2018. Masalah
lain yang perlu dihadapi dalam periode waktu singkat adalah peran serta rezim
Anies untuk merumuskan Rancangan Perencanaan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jakarta untuk lima tahun ke depan masih menemui
kendala. Padahal banyak gagasan dari Anies yang menarik untuk dimasukan dalam
RPJMD, misalnya keinginan untuk membentuk Komite untuk mengurus dan mengelola
dana CSR dari pemerintah DKI Jakarta.
Kedua,publik tentu saja menunggu konsistensi Anies dalam menerapkan policy yang berfokus pada aspek ekonomi,sosial dan budaya tetap
bertahan dalam dinamika negosiasi politik internal kelompok kelompok politik
pendukungnya. Anies harus mampu membuktikan konsistensinya untuk menolak
melanjutkan pendekatan “relokasi” bagi masyarakat miskin kota. Anies juga harus
membuktikan konsistensi menolak Reklamasi pantai utara Jakarta, adapun bagi
pulau yang misalnya sudah terlanjur jadi,
publik akan menunggu sikap Anies atas formulasi pemanfaatan pulau tersebut bagi
orang banyak.
Anies pun harus menjawab keraguan
publik atas kemampuannya menurunkan
gagasan-gagasan besar tersebut dalam
detail tawaran yang konkrit dan matang,
mengingat kompetitor politiknya dikenal sebagai figur pemimpin adminstratur
yang tangguh serta cukup menguasai penjelasan detail detail teknis dalam setiap
program yang ditawarkannya. Beberapa tawaran program unggulannya akan menjadi
fokus sorotan publik seperti OK OCE dan DP 0 Persen . Dalam konteks ini, pada
masa kepemimpinannya dia harus mampu membuktikan
success
story atas program OK OCE,dalam
mencetak wirausaha sosial baru, eksis ,mandiri
berkelanjutan (sustainable).Lebih
lanjut, pembuktian juga harus muncul
dalam program “public housing” DP 0 rupiah, misalnya dengan memperhatikan klausul pendapatan per rumah tangga sebesar tujuh
juta rupiah tentu saja relatif memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah
(MBR), bilamanakah memungkinkan MBR untuk mengakses program tersebut
Ketiga, pembuktian “jalan ketiga”
Anies harus merangkul serta memberikan contoh bahwa keberagaman adalah
keniscayaan. Anies perlu menunjukan bahwa persoalan mendesak adalah menjamin
eksistensi dalam “lkeberagaman” kelas sosial untuk mendapatkan ruan hidup bersama bagi
Jakarta ke depan. Maka, P\pemberian contoh dapat dilakukan adalah membuktikan diri sebagai pengelola
kekuasaan yang berimbang,stabil membangun consensus atas kelompok-kelompok
kepentingan (Interest group)
pendukungnya yang masing masing memiliki
pandangan bertolak belakang dalam isu sipil-politik. Sejauhmana rezim Anies ke
depan memberikan ruang konsensi kekuasaan pada kelompok konservatif agama dan
konservatif sosial (Patriotik), Ruang konsensi politik apa yang akan diberikan
pada kelompok lingkungan dan kelompok pro tata Kota maupun konsesi politik apa
akan diberikan bagi kelompok miskin kota. Sejauhmana Anies akan
mengakomodasi ruang kelompok pemodal
dalam administrasi pemerintahannya ke depan. Pemberian keteladanan contoh
tersebut perlu diikuti oleh konsistensi pembuatan regulasi daerah yang menjamin
“keberagaman” kelas kelas social hidup,hadir mendapatkan ruang di Jakarta. Keterbukaan dalam menaungi berbagai
pertarungan power interplay dalam internal rezim Anies tentu saja penting,sebab
sebagai pembuktian stablitas dan keberagaman
pada administrasi pemerintahan Anies ke depan.
[1]
Mohammad Jibriel Avessina, Analis
Politik pada Center for Regulation Policy and Governance (CRPG)