Bagaimana seharusnya sharing economy diatur?
Monday, April 4, 2016
Unknown
(Image: Psarros)
Literatur regulasi baru mulai ramai membahas hal ini sejak 2014 lalu. Satu hal yang banyak disepakati adalah perusahaan yang menyediakan platform marketplace seperti di atas membutuhkan kategori tersendiri di luar dari perusahaan IT atau perusahaan transportasi. Perusahaan-perusahaan ini sebaiknya diatur dengan model self-regulation (Cohen-Sundarajan, 2015).
Self-regulation dipraktikkan, misalnya, dalam pengaturan organisasi profesi seperti advokat, notaris, kedokteran, dan dalam beberapa hal, penjara dan sekolah. Dalam banyak contoh tersebut regulasi tak lagi terpusat pada pemerintah melainkan berkembang dalam lokus-lokus tersendiri (Black 2001).
Justifikasi atas self-regulation ini setidaknya bisa kita lihat dari (i) kapasitas regulasi dan (ii) insentif regulasi.
Dari sisi kapasitas regulasi, tampak bahwa ongkos regulasi yang harus dibayar oleh pemerintah akan besar apabila harus mendata satu persatu pengemudi Gojek dan Uber dan melakukan pengawasan terhadap ketaatan setiap pengemudinya atas standar pelayanan minimal. Sementara itu, Gojek dan Uber lebih memiliki kapasitas karena secara otomatis punya data dari setiap pengemudi, lengkap dengan pemeringkatannya serta keluhan penumpang atas pengemudi.
Sedangkan dari sisi insentif regulasi, kita dapat menilainya lewat dua faktor: (a) insentif untuk menegakkan dan (b) insentif untuk menaati aturan. Dari sisi insentif untuk menegakkan, aparat pemerintah memiliki insentif, misalnya, lewat lewat promosi jabatan. Namun demikian, Gojek/Uber memiliki insentif lebih karena berhubungan dengan reputasi dan kualitas layanannya. Biaya yang diperlukan perusahaan tersebut dalam memutuskan pemilik sumberdaya dari jaringan sangat kecil dibandingkan dengan, misalnya, biaya dalam melakukan sidang tilang.
Demikian juga dari sisi ketaatan. Soal memberikan helm bagi penumpang, misalnya, insentif utama bagi pengemudi ojek adalah akan ditangkap polisi. Namun, apabila ada ancaman lain seperti dilaporkan oleh penumpang kepada perusahaan, maka insentifnya dalam menaati peraturan akan bertambah.
Dengan demikian, peranan pemerintah (atas menu-menu regulasi tertentu) bukanlah sebagai penegak langsung atas aturan (enforcer) melainkan penegak tidak langsung. Pemerintah cukup membuat kerangkanya regulasinya dan meminta akuntabilitas ketaatan secara umum dari perusahaan. Yang menjadi pelaksana dan penegak regulasi adalah perusahaan-perusahaan tersebut langsung kepada para pengemudi.
Pemerintah bisa membuat standar tingkat ketaatan rata-rata minimal dari pengemudi (misalnya, jumlah rata rata kecelakaan) dan kemudian menjatuhkan denda apabila perusahaan tidak memenuhinya. Dengan cara ini, Uber/Gojek akan dipacu untuk terus melakukan penyuluhan keselamatan kepada pengemudi.
Baca artikel lengkapnya di Geotimes:
Jokowi dan Problem Regulasi Ekonomi Berbagi oleh Mohamad Mova Al'Afghani