Membaca Kepemimpinan Jokowi 
Mohammad Jibriel Avessina  
Kapasitas kepemimpinan Presiden Joko Widodo sedang dipertanyakan oleh
publik. Kebijakan domestik yang dilakukan oleh presiden Jokowi kerap kali dipandang
pesimis, kepemimpinannya dianggap membawa kemunduran dalam arena domestik.  Kondisi ini ditambah dengan
strategi komunikasi politik yang monoton dan polos dalam  mempertahankan kebijakannya. Langkah
politiknya dalam menghadapi  serangan
rival-rival politik  \menunjukan Joko Widodo bukanlah sosok politisi yang
matang. Maka, protes
dan keluhan atas kepemimpinannya beredar secara massif di media sosial.
Demonstrasi mulai marak muncul untuk menuntut administrasi pemerintahannya. Ada
semacam penyesalan terhadap kepemimpinan Jokowi. Setidaknya, ada tiga peristiwa
yang menyebabkan kebijakan domestik rezim Jokowi menuai protes dari publik.
 Pertama, sikap Jokowi yang  dianggap ragu ragu dalam serial krisis-KPK
yang berkepanjangan, keputusan Jokowi untuk menonaktifkan sejumlah pimpinan KPK
dipersepsikan oleh publik sebagai pembiaran atas kegiatan delegitimasi dan
“pelemahan” institusi KPK yang tengah berlangsung. Keputusan Jokowi ini
dianggap blunder khususnya  bagi kelas
menengah Indonesia yang menjadikan KPK sebagai institusi trustable
sebagai respon atas
krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga Negara.    
Kedua,Pilihan Rezim Jokowi untuk membuat kebijakan yang  tidak populer yakni menaikan harga  BBM, juga menaikan tarif terhadap barang
komoditi dan jasa yang dianggap merugikan bagi kepentingan kelas menengah,
seperti tarif dasar listrik, kereta api. Keputusan ini  dengan cepat menjadikan  Jokowi  sebagai “musuh baru” kelas menengah.
Ketiga,konsolidasi internal pemerintahan Jokowi terganggu karena
dibayangi oleh upaya intervensi kekuatan politik tertentu yang  menjadi penyokong politik Jokowi. Wacana Jokowi
sebagai pemimpin cum petugas partai dipandang sinis oleh masyarakat
kelas menengah,kepemimpinan Jokowi dipersepsikan lemah, mudah  untuk dikendalikan serta tidak berwibawa.
Hambatan Oligarkhi politik        
          
Boleh  jadi, protes dan kritik yang disampaikan oleh
publik tersebut relatif benar bahwa 
kita  mengalami`kemunduran`
selangkah dalam upaya pemberantasan anti korupsi. Selama enam bulan publik
seolah-olah menyaksikan kepemimpinan Joko Widodo yang penuh dilematis.  Walaupun demikian, baik kiranya kita memahami secara
jernih  adil  dan jujur dalam menilai   kenyataan
yang dihadapi oleh administrasi pemerintahan Jokowi. 
Sebagai figur politik baru  kekuasaan politik Jokowi tidak utuh, dia  harus berhadapan dengan klik oligarkhi politik  yang sudah asam garam mengenggam arena
politik nasional selama 17 tahun. Maka, konsolidasi internal pemerintahan
jokowi yang lambat dapat kita pahami sebagai  proses pertarungan dengan  oligarkhi politik, tentu saja tidak mudah bagi
Jokowi melakukan konsolidasi 
pemerintahan tanpa gangguan kepentingan oligarkhi politik. 
Konsekuensi lain atas peran oligarkhi politik dalam  proses politik khas Indonesia yang kuat, menjadikan
Jokowi dengan kekuatan dan jaringan politik terbatas,menuai hambatan untuk  mewujudkan  reformasi secara cepat dan massif. Serial krisis KPK yang hadir
sejak dua tahun yang lalu menunjukan betapa rapuhnya agenda anti korupsi  terhadap intervensi kaum oligarch, kemajuan-kemajuan
penegakan anti korupsi masih bersifat artifisial, belum menyentuh akar masalah
utama. Berdasarkan pengalaman tersebut, agenda anti korupsi tidak dapat
dilaksanakan melalui cara cara instan, ada proses yang harus dilalui,butuh
komitmen dukungan jaringan politik yang kuat. Maka keputusan untuk “mundur
selangkah” agar melompat ke depan adalah jalan yang arif,realistis untuk
dilaksanakan. 
Pemimpin yang bekerja
Dalam sisi lain kita harus jujur akan kebijakan-kebijakan Jokowi yang
cemerlang,  rencana proyek-proyek infrastruktur
berupa pembangunan jalan,pelabuhan maupun jalur 
kereta memberikan sebuah harapan baru, penyediaan lapangan kerja serta
prospek jangka panjang gerak-roda ekonomi riil yang baik. Pembangunan
infrastruktur juga sebuah pembuktian  nyata
bahwa  anggaran tahunan negara kita tidak
hanya sekedar dihabiskan dalam alokasi konsumsi serta “subsidi” semata, tetapi
dalam bentuk konkrit, sesuatu yang dapat kita  wariskan pada generasi anak cucu kita. 
Pelaksanaan tol laut yang mulai beroperasi adalah bukti kesungguhannya
untuk membenahi jalur distribusi barang dan jasa  dan interkoneksitas pulau-pulau di Nusantara,
sesuatu yang selalu menjadi masalah klasik bagi percepatan pembangunan di
Indonesia.  Pembangunan kawasan Indonesia
timur bukan lagi janji-janji surgawi yang didengungkan  untuk menutupi ketimpangan sosial,beragam
komitmen investasi dari pembangunan pabrik semen hingga pengembangan kawasan
wisata terpadu siap untuk direalisasikan. 
Komitmen untuk menciptakan pembangunan dari wilayah pinggiran diwujudkan
dalam pembangunan desa yang mendapatkan perhatian secara serius, rambu rambu
regulasi untuk pembangunan desa mandiri telah disusun,  penguatan lembaga Badan Usaha Milik Desa memberikan
harapan  baru  sebagai penggerak ekonomi desa yang mandiri. 
Harus diakui, Jokowi adalah satu-satunya presiden dalam era
reformasi  yang  secara tegas merealisasikan pembubaran PETRAL
sebagai bukti komitmennya dalam upaya mewujudkan tata kelola migas yang baru
dan transparan. Pembubaran PETRAL yang disertai dengan aktivasi integrated
supply chained
disinyalir dapat menghemat  dana hingga
250 Milyar per hari. 
Dalam bidang luar negeri, kebijakannya yang mengusahakan peran strategis Indonesia di kancah
internasional sebagai poros maritim dunia menandai era baru politik luar negeri
yang impresif dan bermartabat.  Harus
diakui, Joko Widodo adalah satu-satunya Presiden Indonesia dalam era
reformasi  yang berkenan bersikap terbuka
dalam forum resmi internasional. Pidatonya yang lugas dalam even KAA  yang lalu 
menyuarakan ketidakadilan global sertata opsi tatanan ekonomi dunia yang
baru, another world is possible. 
Saya melihat Indonesia sedang bergerak untuk  berubah, perlahan tapi pasti. Barangkali,
Jokowi bukanlah politisi yang piawai menaklukan ruang publik  tapi tidak diragukan lagi dia adalah pemimpin
yang bekerja. Tentu saja, hasil kinerjanya masih jauh dari sempurna. Politik di
antara kita boleh datang dan pergi, kepentingan kelompok pasti muncul silih
berganti, tetapi tanggung jawab untuk kesejahteraan bangsa menjadi tugas suci
yang harus kita laksanakan bersama. 
 
Recent Comments