Showing posts with label sharing economy. Show all posts
Showing posts with label sharing economy. Show all posts
,

Conventional regulations won't work for 'sharing' economies

Thursday, April 14, 2016


Image result for sharing economy


An excerpt from my OpEd in The Jakarta Post:

What is certain is that the old economy is being redefined. Even jobs are being redefined. Information technology is slowly but surely shifting “employee” into “workforce-as-service”. There will be fewer employees and more part-time work-from-home consultants. There will be fewer people going to offices and more people teleconferencing through virtual reality gadgets.

For lawyers, this means that the traditional elements of labor law, wages, authority (e.i. from a boss) and “a defined job”, are no longer fulfilled. The new workforce has more independence and outcome-rather-than-process orientation. So authority is rather irrelevant. They also receive commissions instead of wages. They also may not have a set of “defined jobs” — they may be working here and there on several projects.

For that reason, the existing Manpower Law may not be necessarily relevant for the sharing economy. Thus the government shouldn’t force manpower laws on Uber and Go-Jek. This is not to suggest that the new workforce should be deprived of their traditional protections — in terms of health insurance and pension funds and other benefits — that are traditionally provided by offices. It simply means that the government needs to think of new ways so that these protections remain available when the workforce has shifted from employment to services.

The same reason goes for transportation platforms. Taxis, for example, must comply with minimum service standards, such as being equipped with taximeters, assurance of driver’s physical condition, maximum working hours, vehicle maximum age and general safety standards such as functional seatbelts, functional brakes and regular checking to ensure that the vehicle is roadworthy. All these standards must be available to Uber’s or GrabTaxi’s customers too.

The real problem is how to apply these standards to a sharing economies platform. The government should not confuse regulatory goals with regulatory formalities. Subjecting vehicles to yellow license plates or registering them with specific licenses are regulatory formalities (means) to regulatory goals (ends), which is, among others, safety.

Now how do we get them to obey these standards? The current academic proposal from experts worldwide is through self-regulation. Some called them “shared regulations”, which denotes shared regulatory competence among several regulatory authorities and the companies themselves. Unfortunately this idea has not caught the attention of Indonesian policymakers and they are preoccupied with applying existing legal definitions to Uber, Grab or Go-Jek. As I previously mentioned, it won’t work because they can’t be categorized as per se IT or transportation companies.

See full article here.

, , ,

Bagaimana seharusnya sharing economy diatur?

Monday, April 4, 2016



(Image: Psarros)

Literatur regulasi baru mulai ramai membahas hal ini sejak 2014 lalu. Satu hal yang banyak disepakati adalah perusahaan yang menyediakan platform marketplace seperti di atas membutuhkan kategori tersendiri di luar dari perusahaan IT atau perusahaan transportasi. Perusahaan-perusahaan ini sebaiknya diatur dengan model self-regulation (Cohen-Sundarajan, 2015).

Self-regulation dipraktikkan, misalnya, dalam pengaturan organisasi profesi seperti advokat, notaris, kedokteran, dan dalam beberapa hal, penjara dan sekolah. Dalam banyak contoh tersebut regulasi tak lagi terpusat pada pemerintah melainkan berkembang dalam lokus-lokus tersendiri (Black 2001).

Justifikasi atas self-regulation ini setidaknya bisa kita lihat dari (i) kapasitas regulasi dan (ii) insentif regulasi.

Dari sisi kapasitas regulasi, tampak bahwa ongkos regulasi yang harus dibayar oleh pemerintah akan besar apabila harus mendata satu persatu pengemudi Gojek dan Uber dan melakukan pengawasan terhadap ketaatan setiap pengemudinya atas standar pelayanan minimal. Sementara itu, Gojek dan Uber lebih memiliki kapasitas karena secara otomatis punya data dari setiap pengemudi, lengkap dengan pemeringkatannya serta keluhan penumpang atas pengemudi.

Sedangkan dari sisi insentif regulasi, kita dapat menilainya lewat dua faktor: (a) insentif untuk menegakkan dan (b) insentif untuk menaati aturan. Dari sisi insentif untuk menegakkan, aparat pemerintah memiliki insentif, misalnya, lewat lewat promosi jabatan. Namun demikian, Gojek/Uber memiliki insentif lebih karena berhubungan dengan reputasi dan kualitas layanannya. Biaya yang diperlukan perusahaan tersebut dalam memutuskan pemilik sumberdaya dari jaringan sangat kecil dibandingkan dengan, misalnya, biaya dalam melakukan sidang tilang.

Demikian juga dari sisi ketaatan. Soal memberikan helm bagi penumpang, misalnya, insentif utama bagi pengemudi ojek adalah akan ditangkap polisi. Namun, apabila ada ancaman lain seperti dilaporkan oleh penumpang kepada perusahaan, maka insentifnya dalam menaati peraturan akan bertambah.

Dengan demikian, peranan pemerintah (atas menu-menu regulasi tertentu) bukanlah sebagai penegak langsung atas aturan (enforcer) melainkan penegak tidak langsung. Pemerintah cukup membuat kerangkanya regulasinya dan meminta akuntabilitas ketaatan secara umum dari perusahaan. Yang menjadi pelaksana dan penegak regulasi adalah perusahaan-perusahaan tersebut langsung kepada para pengemudi.

Pemerintah bisa membuat standar tingkat ketaatan rata-rata minimal dari pengemudi (misalnya, jumlah rata rata kecelakaan) dan kemudian menjatuhkan denda apabila perusahaan tidak memenuhinya. Dengan cara ini, Uber/Gojek akan dipacu untuk terus melakukan penyuluhan keselamatan kepada pengemudi.

Baca artikel lengkapnya di Geotimes:
Jokowi dan Problem Regulasi Ekonomi Berbagi oleh Mohamad Mova Al'Afghani

,

Regulation of Sharing Economy/ Regulasi Sharing Economy

Wednesday, March 30, 2016



This mindmap (v.1.0.) lists issues and explores regulatory methods for sharing economies. Banning/disconnecting users from marketplace and rating/trust system are proposed as part of the new regulatory tools.


To view/download the full size mind map, go to here.

, , , ,

Lecture on the regulation of sharing economies

Monday, March 28, 2016

The lecture explores sharing economies, externalities associated by it and whether self-regulation (or shared regulation) can be applied to sharing economy platforms. The lecture use the case of Uber (transportation platform) in Indonesia. Session 1 contains slides on sharing economy. Session 2 introduce basic regulation theories and apply it into sharing economy. The lecture contain videos/multimedia, you need to click on the box to play it. 





, , , ,

Dapatkah Uber dan GoJek Mengatur Dirinya Sendiri?

Thursday, March 24, 2016



Sumber: Koran Sindo, Edisi 24-03-2016

Pic Credit: Adzaniah

Apakah Uber dan GoJek harus diregulasi? Secara prinsip, apabila suatu kegiatan ekonomi dapat berjalan lancar dengan sendirinya tanpa merugikan orang lain dan lingkungan, tidak perlu ada regulasi. 

Meski demikian, apabila ada sedikit saja potensi pihak ketiga dan lingkungan dirugikan, di situ terdapat justifikasi untuk melakukan regulasi. Dalam kasus transportasi online seperti Uber dan Gojek, setidaknya ada beberapa pihak yang—apabila tidak terdapat regulasi yang memadai—dapat dirugikan. Pertama adalah sopir. 

Karena status hukumnya bukan sebagai pekerja, sopir tidak mendapat perlindungan dari hukum ketenagakerjaan berupa hak-hak jaminan kesehatan, jaminan sosial, dan sebagainya. Kedua adalah penumpang. Dalam transportasi umum berizin ada beberapa standar yang harus dipenuhi. Misalnya, harus ada yang memastikan tersedia seatbelt yang berfungsi atau remnya tidak blong. 

Apabila tidak, ada potensi bahaya. Ketiga adalah lingkungan sekitar seperti pengguna jalan yang dapat dibahayakan akibat pengemudi yang ugal-ugalan dalam mencari setoran. Bagi para ekonom, istilah dari fenomena-fenomena ini adalah ”eksternalitas negatif”. Tiga hal di atas adalah contoh singkat justifikasi mengapa Uber dan GoJek seharusnya diregulasi. 

Mungkin ada yang akan berpendapat bahwa soal standar keamanan sebenarnya sudah diatur dalam peraturan lalu lintas dan transportasi umum, mengapa untuk Uber dan GoJek harus diatur khusus? Betul bahwa ada standar umum yang berlaku bagi setiap kendaraan, namun Uber dan GoJek berbeda karena aset kendaraan dipergunakan khusus untuk keperluan nonpribadi. 


Di sini ada potensi ”moral hazard ” di mana standar keselamatan dikompromikan karena kepentingan finansial. Dengan kata lain, pemilik kendaraan pribadi akan lebih cenderung melakukan investasi terhadap keselamatan dibanding pemilik angkutan umum atau mobil yang diompreng -kan. Tapi, bukankah ada aturan tidak menjamin keselamatan, buktinya banyak juga angkutan umum yang terlibat kecelakaan dan sopirnya ugal-ugalan? 



Betul, tapi di sini kita bicara ”efektivitas regulasi”, sementara sebelumnya kita bicara soal ”justifikasi regulasi”. Moral hazard dan eksternalitas negatif merupakan dua justifikasi utama untuk melakukan regulasi. Adalah kewajiban pemerintah untuk memastikan ongkos sosial dari kegiatan ekonomi ini minimum dan terefleksikan dalam harga yang dibayar. Bukankah GoJek lebih bagus dari ojek pangkalan karena sudah pasti penumpang diberikan helm dan masker? Betul. 



Nah, sekarang kita bicara soal efektivitas regulasi. Soal GoJek yang memberikan helm kepada penumpangnya sebenarnya merupakan sinyal bahwa Uber dan GoJek memiliki potensi untuk meregulasi dirinya sendiri (self regulation). 



Setiap kali berbicara regulasi, orang cenderung berpikir tentang aturan dan sanksi yang dikeluarkan pemerintah lewat peraturan perundangundangan. Ini sebenarnya kurang tepat karena pertanyaan kedua yang wajib dijawab ketika pertanyaan pertama tentang justifikasi regulasi sudah terjawab adalah dengan metode dan model apa regulasi akan dilakukan? 



Model regulasi aturan dan sanksi dari pemerintah itu dikenal dengan metode ”commandand- control”. Metode ini paling klasik karena berbicara otoritas negara. Mayoritas publikasi akademik terakhir dalam arena regulasi mengusulkan self regulation bagi sharing economy. Self regulation berbeda dengan commandandcontrol karena dalam self regulation ada ”ruang regulasi” bagi pelaku ekonomi. 



Dalam self regulation, pemerintah tidak perlu mengawasi detail tetek bengek standar keselamatan secara langsung dan memberikan sanksi kepada pelanggarnya karena hal itu dilakukan sendiri oleh pelaku ekonomi. Kenapa self regulation banyak diusulkan sebagai metode regulasi sharing economy? Jawabannya adalah platform bisnis ini dengan mudahnya (dan dengan ongkos yang sangat minim) bisa mengeluarkan dan memasukkan orang ke dalam kegiatan ekonomi. 



Regulasi intinya adalah penentuan siapa yang boleh ikut serta dan siapa yang tidak serta standar apa yang dipakai untuk menentukan seseorang boleh ikut serta atau tidak. Uber dan GoJek punya standar untuk menentukan siapa yang bisa jadi sopir dan ikut ke dalammarketplace- nya. Apabila ada sopir yang ugal-ugalan, akan di-ban dari appnya dan di-blacklist sebagai sopir. 



Standarstandar ini ”regulasi” juga walaupun tunduk kepada ”terms ofservice ” dan bukan peraturan perundang-undangan di bidang transportasi. Metode kedua yang dipakai untuk self regulation dalam sharing economy adalah sistem reputasi. Sistem reputasi ini dulu terkenal ketika dipakai oleh Ebay untuk me-rating penjual. Penjual yang punya rating tinggi memperoleh reputasi yang baik dan dipercaya oleh konsumen. 



Pada hakikatnya, sistem reputasi ini merefleksikan kualitas suatu barang (atau dalam kasus GoJek dan Uber, suatu layanan). Kendati demikian, sistem ini tidak sempurna. Orang bisa memberikan rating baik karena sopirnya ganteng atau cantik atau rating buruk hanya karena sopirnya tidak ramah. Ihwal yang tidak kasatmata seperti rem blong dan sebagainya tidak dengan mudah terefleksikan dalam rating ini. 



Bisa jadi sopirnya ganteng atau cantik, tapi remnya blong dan tetap saja orang memberikan rating yang bagus. Walaupun sistem reputasi ini tidak sempurna, setidaknya ini memberikan cerminan atas kualitaslayanan. Sisteminijugadapat disempurnakan untuk bisa merefleksikan standar pelayanan transportasi pada umumnya. 



Apakah self regulation ini bisa efektif? Kita tidak tahu. Mau tidak mau, sharing economy melakukan disrupsi terhadap pemain lama. Tapi, yang jelas, self regulation akan tetap lebih baik dibandingkan no regulation atau pelarangan total. Uber dan GoJek juga seharusnya tertarik dengan proposal self regulation ini karena dengan metode ini intervensi pemerintah akan minim. 



Ditambah lagi, yang sudah dan sedang mereka lakukan selama ini sebenarnya juga sebuah self regulation. Secara teoritis, kita bisa mengetahui apabila self regulation ini efektif ketika perubahan perilaku dan turunnya biaya sosial yang diakibatkan dari aktivitas ekonomi. Katakanlah, apabila standar keselamatan naik dan keluhan penumpang turun, kita bisa tahu bahwa metode ini efektif. 



Yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah untuk menentukan bagian-bagian mana yang akan diberlakukan self regulation dan bagian-bagian mana yang tetap akan diberlakukan command-and-control. Bagi saya, prinsip yang harus diberlakukan dalam self regulation adalah same service, same standard. Artinya, standar-standar umum keselamatan transportasi harus berlaku sama bagi Uber dan GoJek maupun taksi konvensional. 



Tinggal permasalahannya, bagaimana standar ini akan ditegakkan. Dalam regulasi commandand- control, standar layanan ini bisa ditegakkan oleh DLLAJ dengan melakukan KIR atau pengecekan kendaraan. Nah, dalam self regulation penegakan aturan harusnya dapat dilaksanakan oleh Uber dan GoJek sendiri. Caranya bagaimana, apakah petugas Uber harus memeriksa satu persatu armadanya? 



Saya kira tidak. Bisa ditemukan cara lain agar sopir melaporkan sendiri kelaikan kendaraan. Soal jam kerja maksimal misalnya (karena dalam aturan kendaraan umum ada pem-batasan jam kerja sopir) bisa secara langsung dikalkulasikan lewat aplikasi yang ada dalam telepon genggam sopir. 



Bagaimana kalau mereka menolak kepatuhan terhadap standar layanan dan keselamatan transportasi umum tersebut? Nah, kalau itu tidak apa-apa, silakan blokir saja sebab pemerintah punya kewajiban melindungi warganya.


MOHAMAD MOVA AL’AFGHANI 
Direktur Center for Regulation, Policy and Governance (CRPG), Memperoleh PhD dalam Ilmu Hukum dari University of Dundee , UK 

, , ,

About Open Government Partnership and Independent Reporting Mechanism

Thursday, February 18, 2016

Background
Corruption is one of the most serious problem that Indonesia currently have. To fight corruption, do citizen empowerment, and strengthening the governance is important to create a better country, to make a better life for all of the citizen. In order to achieve that, since 2011 Indonesia government partnered with Open Government Partnership (OGP), a voluntary international initiative that aims to secure commitments from governments to their citizenry to promote transparency, empower citizens, fight corruption, and harness new technologies to strengthen governance.

OGP Process
Indonesia as countries participating in OGP has to follow a process for consultation during the development of their action plan, and during implementation.
In this 2014-2015 period, Indonesia has reached its third national plan, where the scope has been expanded. There was even called SOLUSIMU, a contest where citizens could submit their ideas for improving public services for inclusion in the Action Plan, to make the betterment on the exclusivity-hole from the previous process on the previous period. However, the lack of advance notice, lack of evidence of consultation events, and lack of clarity on the incorporation of citizen-generated ideas in the action plan undermined the government’s increased public participation efforts.
Core Team meetings served as the multi-stakeholder consultation forum. It is found that there still was very little meaningful consultation and collaboration between government and wider civil society on the commitment implementation. The Core Team meetings then focused on raising awareness of the OGP process, and increasing public participation especially through SOLUSIMU contest, but the team did not publicize or track progress on commitments.

Methodological note
In Indonesia, The Independent Reporting Mechanism of OGP has partnered with Mohammad Mova Al’Afghani of Centre for Regulation, Policy, and Governance (CRPG), that carried out the evaluation of the development and implementation of this Indonesia’s third action plan. CRPG reviewed the government’s self-assesment report, gathered the views of civil society, and interviewed related government officials and stakeholders. After that, OGP staff and a panel of experts reviewed the report.
CPRG reviewed three key documents prepared by the government: a report on Indonesia’s third action plan submitted to the OGP portal in 2014, the internal document detailing action plan commitments and milestones published in Bahasa Indonesian in April 2015, and the government self-assessment report (GSAR) published in April 2015.
A stakeholder forum in FGD model was organized in Jakarta by The IRM researcher and Medialink, a civil society organization (CSO), in order to gather the opinion of multiple stakeholders.
Report Coverage
This report covers the first year of implementation of Indonesia’s third action plan, 7 November 2014 through 31 July 2015. Beginning in 2015, the IRM also publishes end of term reports to account for the final status of progress at the end of the action plan’s two-year period. This report follows on two earlier reviews of OGP performance, “Indonesia Progress Report 2011-2013” and “Indonesia Special Accountability Report 2013.” These reports covered the development and implementation of the first action plan as well as the development and implementation of the second action plan from 1 January 2013 through 31 December 2013.





, , ,

Indonesia OGP IRM Report Public Comment Period

Saturday, February 13, 2016


The Indonesian 2014 IRM Progress Report have been opened for Public Comment since January.

At a glance, Indonesia's achievement with the Open Government is as follows:




Download the English version here and the Bahasa Indonesia version here

, , , , ,

(Open Government Partnership IRM) Invitation to comment on Progress Reports on Costa Rica, Finland, Ghana, Indonesia, Liberia and Panama

Sunday, February 1, 2015




The Open Government Partnership (OGP) Blog invite comments on IRM progress reports for several countries, including Indonesia. The post made special reference to Special Accountability Report which is piloted by Indonesia OGP IRM:
About the Indonesia Special Accountability Report
Most of the countries whose reports are being released today began their OGP participation in 2013. Indonesia, a founding country of OGP, is an exception, having participated since 2011. So why is there a report on Indonesia being released for public comment today?
The first Indonesia action plan covered 2011 to the end of 2012. The second action plan covered all of 2013. This is the action plan evaluated in today’s draft “Special Accountability Report.” The government of Indonesia also released a third action plan in 2014 that runs until 2015. That action plan will receive a typical progress report after the one-year mark, similar to other countries in the same calendar as Indonesia. That report is due for public comment in July of this year.
The IRM takes its role as promoting learning and accountability seriously. For that reason, to the greatest extent possible, all OGP commitments will be tracked and accounted for. The Special Accountability report represents an important step in that direction.
Previously, CRPG announced a public comment period for the 2013 OGP IRM Report.