Politik Jalan Ketiga Anies

Sunday, May 7, 2017

                Politik “Jalan ketiga” Anies[1]

Kemunculan Anies Baswedan  dalam putaran kedua pilkada DKI merupakan sebuah peristiwa politik yang menarik untuk diulas.  Dari segi politik jejak rekam figur Anies Baswedan dikenal unik,beragam  dan fleksibel, Anies dikenal publik pernah ikut mencalonkan diri sebagai presiden dalam konvensi partai demokrat pada tahun 2013, setelah itu  anies ikut mengemban peran vital dalam tim pemenangan Jokowi sebagai presiden, lalu sekarang dicalonkan sebagai gubenur dari partai-partai politik oposisi.  Namun demikian ada satu benang merah yang konsisten,penampilannya dalam ruang publik selalu memukau, serta berkeinginan hadir sebagai alternative baru   dalam politik . Bila disimpulkan, seorang Anies  merupakan sosok  pemimpin dangan gaya Solidarity maker yakni  suatu tipe pemimpin klasik khas Indonesia.

Tipologi solidarity maker  tersebut dicetuskan oleh Hebert Feith  dalam bukunya The Decline of Constitutional democracy in Indonesia  (Feith, 1962) sebagai pemimpin khas yang punya  pola komunikasi yang baik, hadir dalam merangkul beragam kelompok kelompok kepentingan serta berbicara tentang  gagasan orisinil yang besar. Ada pesan penting yang selalu disampaikan oleh Anies dalam rangkaian gagasan populernya tentang merajut tenun kebangsaan ataupun melunasi janji kemerdekaan, Anies  konsisten memperjuangkan  gagasan untuk  menjaga keutuhan modal sosial sebagai kunci kehidupan  bermasyarakat.  Perolehan suaranya yang mencapai sekitar 57,95 persen menurut hitungan resmi KPU,  menunjukan  keberagaman  harapan dukungan komuniti-komuniti akar rumpun yang relatif besar  terhadap kepemimpinannya. Dalam konteks ini setidaknya ada dua hal yang menarik untuk diulas lebih dalam  untuk membaca tawaran gagasan  kepemimpinan politik Anies .

Pertama, Anies merupakan elit pertama yang menawarkan  diskusi  terbuka secara massal,masuk ke dalam arena mainstream  isu isu hak ekonomi sosial sebagai platform utama dalam kampanye politiknya . Tawaran gagasan Anies tersebut memberikan alternatif  jalan tengah  dari kontestasi politik elektoral yang telah jenuh diwarnai oleh  isu-isu sipil dan politik yang terbagi dalam dua arus besar yakni arus konservatif maupun arus liberal. Pilihan Anies untuk mengusung gagasan isu sosial ekonomi sejalan dengan situasi masyarakat yang menghadapi ketimpangan sosial ekonomi yang cukup  parah.

Gagasan ini cukup simpatik,ditengah tengah arus wacana politik perbedaan (politics of difference) yang mengeksplorasi atribut dan identitas sebagai komoditas politik menjadi sesuatu mainstream di tengah masyarakat. Anies melalui gagasan isu sosial-ekonomi melangkah  maju membahas masalah masalah masyarakat  yang kerapkali diabaikan dalam tataran elit.

Anies,melalui isu ekonomi-sosial  mampu menghadirkan satu jalan blok politik baru,Anies  mampu merekatkan beragam komunitas yang berbeda pilihan dalam isu-isu sipil dan politik. Kelompok konservatif-relijius dalam gerakan Tarbiyah yang merupakan basis utama PKS, Komunitas-komunitas  Patriotik yang merupakan basis Partai Gerindra, Kaukus kelompok kelompok kaum miskin kota yang merasakan dampak langsung  dari kebijakan relokasi yang dilaksanakan oleh lawan politiknya, kelompok pro lingkungan hingga jaringan aktivis tata kota yang menghendaki perubahan penataan Jakarta dengan mengedepankan isu isu ekonomi sosial.            

Kedua, platform dan narasi gagasan-gagasan oleh  Anies mengingatkan kita atas prinsip-prinsip “ jalan ketiga” (Third Way) Giddens, hal  ini misalnya  terlihat dari pilihan  garis ideologis “Jalan Ketiga” yakni akomodatif dengan pasar, perlindungan atas nilai nilai  komunitas,proteksi atas lingkungan serta mendorong beragam program kesejahteraan untuk masyarakat (Giddens, 1998).  Posisi Anies dalam  mendorong perlindungan atas nilai nilai  komunitas, dapat dilihat pilihannya dalam  menolak  kebijakan “relokasi’ dalam penataan  perkotaan karena mecerabut akar sejarah, identitas, serta terbentuknya jaringan ekonomis masyarakat marjinal miskin perkotaan di Pinggiran, posisi Anies dalam  menolak proses reklamasi dalam mekanisme pembentukan pulau pulau buatan menunjukan dirinya memiliki posisi dalam  perlindungan atas lingkungan hidup.

Kita juga dapat menemukan  komitmen-komitmen dalam platform politik Anies dalam mendorong tanggung jawab negara untuk kesejahteraan warganya, misalnya komitmen untuk menyediakan  public housing,Komitmen untuk mewujudkan  program kewirausahaan berbasis komunitas dengan keinginan untuk melahirkan  200.000  Wirausaha baru yang muncul  sentra sentra usaha terpadu hingga pada level kecamatan. Anies juga menegaskan  komitmennya   dengan tawaran meningkatkan kualitas atas program kesejahteraan  yang telah disusun oleh  rezim terdahulu  yaitu dengan janji program  KJP plus  maupun KJS Plus .   

Tantangan politik ke depan.

Tetapi posisi Anies sebagai figur pemimpin Solidarity Maker yang solid bukan hadir tanpa celah. Setidaknya ada tiga hal utama yang harus dibuktikannya pada publik luas. Persoalan pertama, sejauhmana Anies mampu melewati proses transisi 6 bulan secara mulus dan gemilang, beragam persoalan harus dihadapi pada masa inter-periode transisi.  Persoalan kedua sejauhmana kontestasi dinamika politik dalam internal  kaukus politiknya pada masa adminsitrasi pemerintahannya mampu untuk bertahan  komitmen “jalan ketiga” Anies.  Maka sedari awal Anies  harus tegas untuk meletakan agenda ekonomi social dan budaya (EKOSOB) sebagai common program  yang mengikat. Sehingga, dalam pertarungan power interplay dalam  internal kaukus politiknya, baik dalam kebijakan publik maupun  negosiasi distribusi kekuasaan terhadap  kelompok pendukungnya  tidak boleh menggeser Common Program Ekonomi,Sosial dan Budaya . Persoalan ini dikuti oleh  adalah persoalan keraguan bagi sebagian publik  kelas menengah bahwa Rezim Anies akan mampu fokus menurunkan gagasan-gagasan besar  dalam detail detail perencanaan kerja  yang bersifat apik  dan  konkrit. Persoalan ketiga, Anies perlu  membuktikan dalam masa kepemimpinannya,mampu mengelola  keterancaman keberagaman, seperti yang menjadi fokus tudingan kelompok kelompok liberal atas sentimen  kehadiran kelompok konservatif politik yang mendukungnya sejak awal, sehingga ketakutan atas keterancaman keberagaman identitas  perlu untuk dijawab rezim Anies.  

Pertama, beragam permasalahan telah harus dihadapi pada masa masa “interperiode” kepemimpinan baru Anies, rencana penggusuran kembali kampung Aquarium yang kemungkinan akan dilaksanakan dalam waktu dekat,padahal Anies memiliki pendekatan yang jauh berbeda dalam melihat persoalan relokasi.

Dalam sisi lain, sejauh mana Anies  dituntut mampu melakukan lobi pada petahanan sehingga program program kerja andalannya yang pro rakyat yakni DP 0 Rupiah,One Kecamatan,One Center (OKE OCE), KJS Plus dan KJP Plus mampu diakomodasi dalam APBD-P 2017 serta masuk dalam Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2018. Masalah lain yang perlu dihadapi dalam periode waktu singkat adalah peran serta rezim Anies untuk  merumuskan Rancangan Perencanaan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jakarta untuk lima tahun ke depan masih menemui kendala. Padahal banyak gagasan dari Anies yang menarik untuk dimasukan dalam RPJMD, misalnya keinginan untuk membentuk Komite untuk mengurus dan mengelola dana CSR dari pemerintah DKI Jakarta.

Kedua,publik tentu saja menunggu konsistensi  Anies dalam menerapkan policy yang berfokus pada aspek ekonomi,sosial dan budaya tetap bertahan dalam dinamika negosiasi politik internal kelompok kelompok politik pendukungnya. Anies harus mampu membuktikan konsistensinya untuk menolak melanjutkan pendekatan “relokasi” bagi masyarakat miskin kota. Anies juga harus membuktikan konsistensi menolak Reklamasi pantai utara Jakarta, adapun bagi pulau  yang misalnya sudah terlanjur jadi, publik akan menunggu sikap Anies atas formulasi pemanfaatan pulau tersebut bagi orang banyak.
Anies pun harus menjawab keraguan  publik atas kemampuannya menurunkan gagasan-gagasan besar tersebut  dalam detail  tawaran yang konkrit dan matang, mengingat kompetitor politiknya dikenal sebagai figur pemimpin adminstratur yang tangguh serta cukup menguasai penjelasan detail detail teknis dalam setiap program yang ditawarkannya. Beberapa tawaran program unggulannya akan menjadi fokus sorotan publik seperti OK OCE dan DP 0 Persen . Dalam konteks ini, pada masa kepemimpinannya  dia harus mampu membuktikan  success story  atas program OK OCE,dalam mencetak  wirausaha sosial baru, eksis ,mandiri berkelanjutan (sustainable).Lebih lanjut, pembuktian juga harus muncul  dalam program “public housing” DP 0 rupiah, misalnya  dengan memperhatikan klausul  pendapatan per rumah tangga sebesar tujuh juta rupiah tentu saja relatif memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), bilamanakah memungkinkan MBR  untuk mengakses program tersebut

Ketiga, pembuktian “jalan ketiga” Anies harus merangkul serta memberikan contoh bahwa keberagaman adalah keniscayaan. Anies perlu menunjukan bahwa persoalan mendesak adalah menjamin eksistensi dalam “lkeberagaman” kelas sosial  untuk mendapatkan ruan hidup bersama bagi Jakarta ke depan. Maka, P\pemberian contoh dapat dilakukan  adalah membuktikan diri sebagai pengelola kekuasaan yang berimbang,stabil membangun consensus atas kelompok-kelompok kepentingan (Interest group) pendukungnya  yang masing masing memiliki pandangan bertolak belakang dalam isu sipil-politik. Sejauhmana rezim Anies ke depan memberikan ruang konsensi kekuasaan pada kelompok konservatif agama dan konservatif sosial (Patriotik), Ruang konsensi politik apa yang akan diberikan pada kelompok lingkungan dan kelompok pro tata Kota maupun konsesi politik apa akan diberikan bagi kelompok miskin kota. Sejauhmana Anies akan mengakomodasi  ruang kelompok pemodal dalam administrasi pemerintahannya ke depan. Pemberian keteladanan contoh tersebut perlu diikuti oleh konsistensi pembuatan regulasi daerah yang menjamin “keberagaman” kelas kelas social hidup,hadir mendapatkan ruang di Jakarta.  Keterbukaan dalam menaungi  berbagai  pertarungan  power interplay dalam internal rezim Anies tentu saja penting,sebab sebagai pembuktian stablitas dan keberagaman  pada administrasi pemerintahan Anies ke depan.                                   
































[1] Mohammad Jibriel Avessina, Analis  Politik pada Center for Regulation Policy and Governance (CRPG) 

Dilema Kepemimpinan Kultus

Thursday, May 4, 2017

Dilema Kepemimpinan Kultus

Mohammad Jibriel Avessina
                     
         (Analis Politik, Center for Regulation,Policy and Governance)    

Praktik kepemimpinan kultus kerapkali  dilaksanakan sebagai strategi kebudayan yang dilakukan oleh gerakan spiritualisme baru ataupun gerakan sosial budaya baru . Dalam konteks ini kepemimpinan kultus  disusun untuk mempertahanakan  struktur yang dibentuk dari satuan sosial yang terikat atas komitmen nilai ataupun pandangan  yang mutlak. Maka lazim kita temukan pemimpin-pemimpin kultus berangkat dari kelompok-kelompok subkultur marjinal yang mengisolasi diri,menjaga jarak dari kultur-kultur  yang lebih dominan secara sosial.

Namun demikian, tidak seluruh  kepemimpinan kultus,berangkat dari kelompok sosial yang kecil. Kepemimpinan kultus dapat saja muncul dari arus  mainstream  kultur yang dominan secara sosial,tatkala keadaan turbulensi sosial hadir di dalam masyarakat (Maisntream), kepemimpian kultus jeli melihat peluang dalam  mengeksplorasi  tanda tanda disintegrasi sosial berupa potensi konflik laten yang tajam antar golongan di masyarakat (Zellner,1998) . Kajian yang dilakukan  William Zellner dalam bukunya Sects, Cults, and Spiritual Communities (1998),dapat kita simpulkan empat karakteristik  kepemimpinan kultus.

Pertama Karakter kepemimpinan kultus ditandai oleh  pesona pribadi yang kuat  dengan memberikan tawaran janji pembaharuan radikal atau janji pemurnian ,murni atas nilai dan kesepakatan sosial yang dianggap telah jatur dan tercemar di Masyarakat, sehingga mengundang arus simpati dan decak kagum di masyarakat.

Kedua, Pemimpin kultus mampu mengeksplorasi  rekayasa atribut identitas sosial dengan baik sehingga menciptakan ketergantungan para pengikutnya yang berasal dari latar belakang lanskap sosial yang beragam atas pemimpin kultus berikut struktur yang telah dibangunnya.

Ketiga, pemimpin kultus biasanya memberikan kewajiban cara pandang,perspektif tunggal tertentu yang patut dijadikan pedoman doktrin mutlak dalam kehidupan spiritual dan sosial budaya, cara pandang tunggal semacam ini tentu saja menutup mata atas beragam kritik sosial maupun keberagaman pendapat yang berbeda dalam kehidupan bermasyarakat,maka tidak mengherankan  pengikut yang terikat oleh  pemimpin kultus cenderung berlaku agresif dan memendam curiga terhadap  atas segala pilihan perbedaan pendapat dan kritik kritik sosial yang ditujukan bagi sang pemimpin kultus.

Keempat pemimpin kultus membentuk mekanisme kontrol sosial Reward and Punishment yang ketat. Mekanisme ini biasanya dibentuk  untuk mengatur dinamika internal kalangan pengikutnya yang kuat untuk menjamin loyalitas dan perilaku para pengikut pemimpin kultus agar senantiasa tunduk secara absolut dengan kehendak pemimpin kultus.             

Kepemimpinan Kultus dalam arena politik

Secara kultural, dalam arena politik Indonesia narasi tentang kepemimpinan kultus telah lama  eksis. Kepemimpinan kultus,  kerapkali dilekatkan sebagai    solusi  di mata rakyat (Popular Grassroot)  dalam  menentukan kepemimpinan politik pada kondisi yang penuh ketidakteraturan sosial yang tidak menentu. Praktik kepemimpinan kultus yang masuk dalam arena politik misalnya dapat dilihat dari populernya di kalangan rakyat jelata mitos tentang  pola kepemimpinan  Ratu adil dan Satrio piningit, sosok yang muncul di dalam masyarakat sebagai aktor pengikat tunggal  integrasi sosial yang menawarkan suatu tatanan zaman yang baru. Zaman yang tenteram sejahtera, setelah tatanan sosial lama telah rusak,oleh “Goro-goro” yakni suatu kondisi ketidakteraturan sosial yang diwarnai dengan beragam pertikaian internal di Masyarakat. Mitos ini begitu populer ditengah tengah masyarakat, ada semacam penantian dan pengharapan akan muncul pemimpin-pemimpin semacam ini pada periode-periode tertentu yang penuh gejolak sosial.  Dalam konteks ini dapat kita pahami bahwa praktik-praktik kepemimpinan kultus sebagai strategi kebudayaan  yang muncul dalam periode tertentu diam diam mendapatkan dukungan yang cukup kuat dari akar rumput.

Maka dapat kita pahami bahwa pemimpin  di masa lalu kerapkali  terjerumus dalam mode  praktik kepemimpinan kultus. Praktik kepemimpinan kultus dilakukan sebagai alternatif strategi kebudayaan untuk menggalang dukungan  sentimen sosial untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Maka tidak heran bila pemimpin-pemimpin terdahulu  mengenggam sirkuit kekuasaan dalam waktu yang cukup lama,berkisar antara belasan tahun hingga puluhan tahun lamanya. Organisasi-organisasi sosial dan politik justru muncul sebagai pionir pemujaan atas figur pemimpin secara akut. Gelar-gelar adiluhung disematkan pada dada pemimpin-pemimpin tedahulu.  Sebagai pelengkap, Kidung-kidung nyanyian  digubah sebagai refleksi pemujaan atas pemimpin yang kerap dipertontonkan rutin dalam acara acara seremonial.        

Pada dekade tahun 1970-an, kita dikejutkan  oleh berkembangnya  pola birokrasi patrimonial  suatu cita rasa birokrasi  “kebapakan” yang mengedepankan  ikatan ikatan sentimental  personal untuk kepentingan pribadi, kelompok yang menggunakan birokrasi sebagai kontrol  sumberdaya untuk mempertahankan kekuasaan. Kenyataan ini  menunjukan pada kita bahwa   praktik kepemimpinan kultus yang sudah hadir puluhan generasi ternyata mampu adaptif dengan perkembangan kemajuan atas pengetahuan teknik-teknik  organisasi  paling kekinian sekalipun.     
Namun demikian,dampak yang paling merusak dalam praktik kepemimpinan kultus justru muncul ditengah tengah masyarakat. Pemujaan-pemujaan kolosal atas figur-figur pemimpin tertentu yang diikuti dengan ketaatan mutlak atas  pandangan dan sikap sang pemimpin kultus. Demi untuk melaksanakan pembenaran atas keputusan pemimpin kultus,  stigma dan label dilekatkan pada kelompok-kelompok sosial yang berbeda pandangan bahkan berlawanan atas kelompok kelompok sosial yang berkuasa. pada puncaknya fase senjakala kejatuhan para pemimpin pemimpin kultus selalu ditutup oleh “goro-goro” ketegangan-ketegangan sosial yang berujung pada konflik baik laten maupun manifes, selebihnya adalah cerita tentang masyarakat yang terbelah .              

Racun bagi demokrasi.
Kini, hampir dua dekade setelah  reformasi,zaman telah berubah,  kita telah menyaksikan tumbuhnya beragam generasi pemimpin baru. Sistem,struktur  dan kelembagaan politik sudah mulai terbangun dengan matang dan  kokoh dengan hanya memberikan ruang bagi demokrasi sebagai satu satunya prosedur  tata aturan main,  the only game in town. Namun demikian,di luar tatanan struktur politik formal,tanda tanda kepemimpinan kultus kembali menggeliat.
Pemujaan kekaguman terhadap “berhala figur idola”  kembali marak dipraktikan oleh beragam kelompok sosial. Kritik-kritik sosial tak lagi di terima sebagai bagian tradisi dari ruang publik yang sehat, tetapai dimaknai dengan penuh kecurigaan,ancaman serta dianggap upaya untuk menjatuhkan kredibilitas sang “pemimpin idola”. Maka tidak heran, pelan tapi pasti  cara pandang “kacamata kuda” yang memuja cinta  figur-figur “pemimpin idola” begitu  mengakar di masyarakat. Demi untuk menyanjung pemimpin idola, ruang publik diokupasi,didominasi praktik kekerasan simbolik, label dan stigma kerapkali dilekatkan secara brutal pada kelompok kelompok sosial yang dianggap  berbeda pendapat, pandangan atau haluan politik.
Rangkaian batas kultural mulai dibangun dengan menciptakan dikotomi Lover and hater yang populer pada sirkulasi ruang virtual social media. Kondisi ini menandakan fragmentasi politik pada masyarakat yang akut,bukan karena pertarungan atas pilihan-pilihan rasional tentang program, gagasan atau ideologi tapi karena arus kental pemujaan buta atas sosok figur. Dalam sekejap tradisi kritik,berbagi wacana dalam ruang publik lenyap, tak ada ruang konsensus. Secara perlahan tapi pasti diam diam dipupuk  ketidakpercayaan serta antipati kuat atas sistem dan kelembagaan, maka pemimpin idola dipandang sebagai satu satunya jalan untuk mewujudkan sistem berada pada jalan yang dianggap “benar”.Tanpa "kehadiran-Nya" sistem dan kelembagaan dianggap tidak mungkin berjalan dengan baik. Dia tiada mungkin tergantikan, tak ada yang dapat mampu menyamainya.  
Maka, tatkala pemimpin idola tumbang melalui proses pertarungan yang demokratis, kepanikan di mata pengikut pemimpin idola mulai terjadi. Dia yang dianggap tak tergantikan ternyata tumbang. Sirkulasi opini mulai diedarkan untuk menjelaskan bait demi bait dongeng “Kambing hitam” penyebab kekalahannya akibat “konspirasi kaum-kaum kegelapan nan jahat untuk melawan kebenaran”. Ketakutan-ketakutan mulai ditebar di tengah tengah komunitas komunitas  kelompok masyarakat oleh para pengikut pemimpin idola yang kecewa. Pesannya satu, jika Dia tiada memimpin maka tiada terbentuk keteraturan  sosial yang utuh. Hanya Dia yang agung yang mampu melindungi rakyat dari potensi kekacauan sosial. Pada puncaknya, para pengikut pemimpin idola secara kolektif mengekspresikan rasa kegalauan yang begitu meluap  sejadi-jadinya dalam ruang ruang publik untuk melepas sang pemimpin idola pergi.    
Sulit untuk dibantah, realitas kultural semacam ini  menunjukan gejala-gejala tidak sehat munculnya benih benih narasi kepemimpinan kultus di masyarakat. Sejenak kita bersama  perlu merefleksikan kembali,menata ulang bangunan sistem dan kelembagaan demokrasi kita. Gejala  semacam ini mengingatkan kita untuk tidak lengah dalam ruang kultural untuk mengawal nalar publik,  sebab penting  sebagai fondasi untuk mewujudkan bangunan kelembagaan demokrasi kita. Demi publik,untuk republik.      

.             


, , , ,

Plastic Shopping Bag Levy: One of the Ways to Tackle the Waste Problem?

Thursday, November 3, 2016


CRPG has contributed to the policy discussion regarding the plastic shopping bag levy that was introduced in February 2016 in several cities in Indonesia.  The article, written by Dyah Paramita, was published in the Jakarta Post. The following is an excerpt:

Plastic waste is a problem. It is very difficult to decompose naturally and when it burns, it releases toxins such as dioxins and polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) that are very harmful for human health and the environment and is linked to the development of cancer. Animals also suffer from the ingestion of plastic. According to the Ministry of Environment and Forestry, the use of plastic bags in Indonesia for the past 10 years is increasing. In the past decade, Indonesians used approximately 9.8 billion sheets of plastic bags per year and almost 95% of them ended up as waste.  Based on a recent study published in the Science Magazine written by Jenna R. Jambeck, the country ranks second (after China) that mismanaged plastic waste followed by the Philippines, Vietnam and Sri Lanka.

In order to handle the growing problem in Indonesia, a policy regarding the shopping plastic bag levy will be imposed on a trial basis.  The policy is geared specifically for consumers shopping in modern markets and retail outlets and will be imposed from February 21, on the National Waste Awareness Day, to June 5, 2016, the World Environment Day. At the completion of the trial phase, the regulatory framework is expected to be completed by June 2016.  The local governments of 23 cities have shown interest in participating in this movement (Jakarta Post  05/02/16). The Ministry of Environment and Forestry (KLHK) has proposed the charge of Rp. 500 per bag. Of this amount, Rp. 200 will be repaid to the consumers who return the plastic bags to the retailers and the rest (Rp. 300) will be used by the retailers and the local municipality to fund environmental activities. However, the price might vary and could range between Rp. 500-Rp. 5000, depending on the local policy (Kompas 26/01/16).

Will the plastic bag levy tackle the waste problem? A plastic bag levy is not a new concept in the environmental field.  Several countries have already introduced this policy, such as Taiwan, Ireland, Hong Kong, Botswana, China and Denmark.

There are different approaches regarding this matter. A levy on plastic shopping bags can be imposed to encourage the change of the consumers’ behavior. In this case, the main goal is to discourage consumers from using plastic bags, which will decrease the amount of litter and reduce the volume of waste going to the landfill. The amount of the levy is intended to deter consumers from using plastic shopping bags and to encourage them to bring their own bag.  Ireland applies this type of levy. The KLHK seems to be proposing similar type of levy combined with the deposit-refund system. The deposit-refund system means when a product, which potentially pollutes the environment, is sold, a deposit should be charged simultaneously. Thus, the deposit will be re-funded when the consumers return the empty containers to the collection points. It is similar to the policy known as the “bottle bill” in the United States. The consumers pay a deposit when they purchase beverage containers and they are refunded their money when they return the empty containers to the retailers or to the designated collections points. One of the objectives of the deposit-refund system is to prevent improper waste disposal.

Another approach is imposing a Pigouvian tax on the plastic bag. The name is taken from the British university professor, Arthur Cecil Pigou who coined the theory. This way, the tax is intended to internalize the external cost of using the plastic bags. The external cost in this sense is the environmental costs, which include pollution, waste problems, and damage to wildlife. To implement this type of tax, there are efforts to calculate the margin of the external costs and determine the optimum level of the tax accordingly. This is also a way to reduce pollution and protect the environment by discouraging excessive consumption of plastic bags. This policy reflects what is called the polluter-pay principle, meaning those who cause pollution should bear the cost of managing it.

See full article here

,

Asia/Europe International Training Program “Strategies for Chemical Management” Stockholm, Sweden 12 September – 4 October 2016


A CRPG researcher, Dyah Paramita, was selected among 29 other participants from Europe and Asia to be funded for a 3 week training on Strategies for Chemical Management conducted by Swedish Chemical Agency on behalf of the Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA). In this program, the participants have learned and discussed several issues such as the importance of chemical management, the use of chemicals, hazard assessment and communication, exposure and risk assessments, risk management, law enforcement, and national development of  chemical management.  In this regards, CRPG develops an action plan to conduct a policy analysis regarding the draft of chemical law and draft revision of the Government Regulation No. 74/2001 on the Hazardous and Toxic Substance Management. The program includes visits to the Swedish Toxicology Science Research Center (Swetox), the Swedish National Food Agency, and the City of Stockholm Environment and Health Administration

CRPG's Presentation

New Online Course on Gender Mainstreaming in IWRM

Wednesday, August 3, 2016

New Online Course on Gender Mainstreaming in IWRM


At Cap-Net UNDP we are proud to present a new online course on Gender Mainstreaming in IWRM on the Cap-Net Virtual Campus. The course aims to strengthen the capacity of water managers to successfully incorporate gender mainstreaming in their work.
The course will run from 19th September to 23rd November 2016 and is open to a maximum of 40 participants from the entire water sector. To apply to the course, please visit our online application form.

For more information, do not hesitate to contact the campus coordinators with any questions you may have.

Looking forward to seeing you on the Virtual Campus soon!
The Cap-Net UNDP Team

Regulation of Community Water and Sanitation (Temporary or Permanent?)

Saturday, July 30, 2016


Picture: water network diagram in Tlanak


One of the most interesting findings in our research is the relationship between community based water services and existing water utilities. We find patterns of cooperation and conflict. One of the underlying reason is the different perception as to whether community based systems should be considered a "temporary" solution or a "permanent" solution. This still cannot be resolved among policymakers:
Our FGD revealed that there are unresolved fundamental differences among regulatory stakeholders, in terms of whether CB should be perceived as a temporary “approach” with the overall intention to integrate it to the PDAM or “institutional” system in the future or whether it stands equally to the existing “institutional” system.[152] This difference has created tensions and confusion in practice, but more importantly, brings negative impact to policy and regulatory reform.
According to a government official some PDAM consider that CB Watsan is a temporary solution in their business plan – thus Community watsan network is regarded as parts which can be co-opted and taken over, since PDAM considers that the only one who is entitled to provide services are PDAM and the rest can only provide services through concession with PDAM.[153]
In addition, community watsan projects may, to some extent, contravene the exclusive natural-legal-local monopoly granted to PDAM. Furthermore, there is indication that some successful community watsan intitiative have grown large in a way that could match or even surpass existing PDAM.[154] How these community watsan initiatives could coexist with existing PDAMs or – to maintain the economies of scale – be merged with or acquire existing PDAMs is a problem yet to be solved. 
The importance of modeling behaviors and future development in order to develop understanding of the relationship between PDAM and CB was a common response across the FGD. Two fragment-scenarios may be a suitable approach to be able to foresee regulatory developments. The first is to view community watsan as a “temporary” entity which exist only for a certain period and can be “annexed” by PDAM for certain reason such as economic scale or environmental conditions such as surface water quality in which CB model would no longer be compatible and larger scale investment would be required for treatment. The temporary approach is consistent with existing regulation -- since existing laws considers that the only one who is entitled to provide services are State or Regional Owned Enterprises -- whilst the other may only provide services in concession with PDAM. If this scenario is to be taken, then regulatory reform should focus on short term solutions with the overall objective of integrating the whole system to PDAM.
The second scenario is to perceive CB as a completely different model that can develop, expand and supersede PDAM or other “institutional” system. CB is thus treated equally with “institution”. As, at present, there is no CB model above district [Kecamatan] level, this model would be quite speculative. In this model, the regulatory framework should acknowledge the diversity of models in services provision and allow either CB or institutional model to acquire each other. FGD participants challenge the conceptual distinction of CB/”institution” based on assets size, coverage or natural monopoly. Thus, in this scenario, the regulatory framework should be able to foresee the CB model transformed into large scale water utility. 

Read the full research report.
Visit project page: Regulation of Community Water and Sanitation.