Dilema Kepemimpinan Kultus

Thursday, May 4, 2017

Dilema Kepemimpinan Kultus

Mohammad Jibriel Avessina
                     
         (Analis Politik, Center for Regulation,Policy and Governance)    

Praktik kepemimpinan kultus kerapkali  dilaksanakan sebagai strategi kebudayan yang dilakukan oleh gerakan spiritualisme baru ataupun gerakan sosial budaya baru . Dalam konteks ini kepemimpinan kultus  disusun untuk mempertahanakan  struktur yang dibentuk dari satuan sosial yang terikat atas komitmen nilai ataupun pandangan  yang mutlak. Maka lazim kita temukan pemimpin-pemimpin kultus berangkat dari kelompok-kelompok subkultur marjinal yang mengisolasi diri,menjaga jarak dari kultur-kultur  yang lebih dominan secara sosial.

Namun demikian, tidak seluruh  kepemimpinan kultus,berangkat dari kelompok sosial yang kecil. Kepemimpinan kultus dapat saja muncul dari arus  mainstream  kultur yang dominan secara sosial,tatkala keadaan turbulensi sosial hadir di dalam masyarakat (Maisntream), kepemimpian kultus jeli melihat peluang dalam  mengeksplorasi  tanda tanda disintegrasi sosial berupa potensi konflik laten yang tajam antar golongan di masyarakat (Zellner,1998) . Kajian yang dilakukan  William Zellner dalam bukunya Sects, Cults, and Spiritual Communities (1998),dapat kita simpulkan empat karakteristik  kepemimpinan kultus.

Pertama Karakter kepemimpinan kultus ditandai oleh  pesona pribadi yang kuat  dengan memberikan tawaran janji pembaharuan radikal atau janji pemurnian ,murni atas nilai dan kesepakatan sosial yang dianggap telah jatur dan tercemar di Masyarakat, sehingga mengundang arus simpati dan decak kagum di masyarakat.

Kedua, Pemimpin kultus mampu mengeksplorasi  rekayasa atribut identitas sosial dengan baik sehingga menciptakan ketergantungan para pengikutnya yang berasal dari latar belakang lanskap sosial yang beragam atas pemimpin kultus berikut struktur yang telah dibangunnya.

Ketiga, pemimpin kultus biasanya memberikan kewajiban cara pandang,perspektif tunggal tertentu yang patut dijadikan pedoman doktrin mutlak dalam kehidupan spiritual dan sosial budaya, cara pandang tunggal semacam ini tentu saja menutup mata atas beragam kritik sosial maupun keberagaman pendapat yang berbeda dalam kehidupan bermasyarakat,maka tidak mengherankan  pengikut yang terikat oleh  pemimpin kultus cenderung berlaku agresif dan memendam curiga terhadap  atas segala pilihan perbedaan pendapat dan kritik kritik sosial yang ditujukan bagi sang pemimpin kultus.

Keempat pemimpin kultus membentuk mekanisme kontrol sosial Reward and Punishment yang ketat. Mekanisme ini biasanya dibentuk  untuk mengatur dinamika internal kalangan pengikutnya yang kuat untuk menjamin loyalitas dan perilaku para pengikut pemimpin kultus agar senantiasa tunduk secara absolut dengan kehendak pemimpin kultus.             

Kepemimpinan Kultus dalam arena politik

Secara kultural, dalam arena politik Indonesia narasi tentang kepemimpinan kultus telah lama  eksis. Kepemimpinan kultus,  kerapkali dilekatkan sebagai    solusi  di mata rakyat (Popular Grassroot)  dalam  menentukan kepemimpinan politik pada kondisi yang penuh ketidakteraturan sosial yang tidak menentu. Praktik kepemimpinan kultus yang masuk dalam arena politik misalnya dapat dilihat dari populernya di kalangan rakyat jelata mitos tentang  pola kepemimpinan  Ratu adil dan Satrio piningit, sosok yang muncul di dalam masyarakat sebagai aktor pengikat tunggal  integrasi sosial yang menawarkan suatu tatanan zaman yang baru. Zaman yang tenteram sejahtera, setelah tatanan sosial lama telah rusak,oleh “Goro-goro” yakni suatu kondisi ketidakteraturan sosial yang diwarnai dengan beragam pertikaian internal di Masyarakat. Mitos ini begitu populer ditengah tengah masyarakat, ada semacam penantian dan pengharapan akan muncul pemimpin-pemimpin semacam ini pada periode-periode tertentu yang penuh gejolak sosial.  Dalam konteks ini dapat kita pahami bahwa praktik-praktik kepemimpinan kultus sebagai strategi kebudayaan  yang muncul dalam periode tertentu diam diam mendapatkan dukungan yang cukup kuat dari akar rumput.

Maka dapat kita pahami bahwa pemimpin  di masa lalu kerapkali  terjerumus dalam mode  praktik kepemimpinan kultus. Praktik kepemimpinan kultus dilakukan sebagai alternatif strategi kebudayaan untuk menggalang dukungan  sentimen sosial untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Maka tidak heran bila pemimpin-pemimpin terdahulu  mengenggam sirkuit kekuasaan dalam waktu yang cukup lama,berkisar antara belasan tahun hingga puluhan tahun lamanya. Organisasi-organisasi sosial dan politik justru muncul sebagai pionir pemujaan atas figur pemimpin secara akut. Gelar-gelar adiluhung disematkan pada dada pemimpin-pemimpin tedahulu.  Sebagai pelengkap, Kidung-kidung nyanyian  digubah sebagai refleksi pemujaan atas pemimpin yang kerap dipertontonkan rutin dalam acara acara seremonial.        

Pada dekade tahun 1970-an, kita dikejutkan  oleh berkembangnya  pola birokrasi patrimonial  suatu cita rasa birokrasi  “kebapakan” yang mengedepankan  ikatan ikatan sentimental  personal untuk kepentingan pribadi, kelompok yang menggunakan birokrasi sebagai kontrol  sumberdaya untuk mempertahankan kekuasaan. Kenyataan ini  menunjukan pada kita bahwa   praktik kepemimpinan kultus yang sudah hadir puluhan generasi ternyata mampu adaptif dengan perkembangan kemajuan atas pengetahuan teknik-teknik  organisasi  paling kekinian sekalipun.     
Namun demikian,dampak yang paling merusak dalam praktik kepemimpinan kultus justru muncul ditengah tengah masyarakat. Pemujaan-pemujaan kolosal atas figur-figur pemimpin tertentu yang diikuti dengan ketaatan mutlak atas  pandangan dan sikap sang pemimpin kultus. Demi untuk melaksanakan pembenaran atas keputusan pemimpin kultus,  stigma dan label dilekatkan pada kelompok-kelompok sosial yang berbeda pandangan bahkan berlawanan atas kelompok kelompok sosial yang berkuasa. pada puncaknya fase senjakala kejatuhan para pemimpin pemimpin kultus selalu ditutup oleh “goro-goro” ketegangan-ketegangan sosial yang berujung pada konflik baik laten maupun manifes, selebihnya adalah cerita tentang masyarakat yang terbelah .              

Racun bagi demokrasi.
Kini, hampir dua dekade setelah  reformasi,zaman telah berubah,  kita telah menyaksikan tumbuhnya beragam generasi pemimpin baru. Sistem,struktur  dan kelembagaan politik sudah mulai terbangun dengan matang dan  kokoh dengan hanya memberikan ruang bagi demokrasi sebagai satu satunya prosedur  tata aturan main,  the only game in town. Namun demikian,di luar tatanan struktur politik formal,tanda tanda kepemimpinan kultus kembali menggeliat.
Pemujaan kekaguman terhadap “berhala figur idola”  kembali marak dipraktikan oleh beragam kelompok sosial. Kritik-kritik sosial tak lagi di terima sebagai bagian tradisi dari ruang publik yang sehat, tetapai dimaknai dengan penuh kecurigaan,ancaman serta dianggap upaya untuk menjatuhkan kredibilitas sang “pemimpin idola”. Maka tidak heran, pelan tapi pasti  cara pandang “kacamata kuda” yang memuja cinta  figur-figur “pemimpin idola” begitu  mengakar di masyarakat. Demi untuk menyanjung pemimpin idola, ruang publik diokupasi,didominasi praktik kekerasan simbolik, label dan stigma kerapkali dilekatkan secara brutal pada kelompok kelompok sosial yang dianggap  berbeda pendapat, pandangan atau haluan politik.
Rangkaian batas kultural mulai dibangun dengan menciptakan dikotomi Lover and hater yang populer pada sirkulasi ruang virtual social media. Kondisi ini menandakan fragmentasi politik pada masyarakat yang akut,bukan karena pertarungan atas pilihan-pilihan rasional tentang program, gagasan atau ideologi tapi karena arus kental pemujaan buta atas sosok figur. Dalam sekejap tradisi kritik,berbagi wacana dalam ruang publik lenyap, tak ada ruang konsensus. Secara perlahan tapi pasti diam diam dipupuk  ketidakpercayaan serta antipati kuat atas sistem dan kelembagaan, maka pemimpin idola dipandang sebagai satu satunya jalan untuk mewujudkan sistem berada pada jalan yang dianggap “benar”.Tanpa "kehadiran-Nya" sistem dan kelembagaan dianggap tidak mungkin berjalan dengan baik. Dia tiada mungkin tergantikan, tak ada yang dapat mampu menyamainya.  
Maka, tatkala pemimpin idola tumbang melalui proses pertarungan yang demokratis, kepanikan di mata pengikut pemimpin idola mulai terjadi. Dia yang dianggap tak tergantikan ternyata tumbang. Sirkulasi opini mulai diedarkan untuk menjelaskan bait demi bait dongeng “Kambing hitam” penyebab kekalahannya akibat “konspirasi kaum-kaum kegelapan nan jahat untuk melawan kebenaran”. Ketakutan-ketakutan mulai ditebar di tengah tengah komunitas komunitas  kelompok masyarakat oleh para pengikut pemimpin idola yang kecewa. Pesannya satu, jika Dia tiada memimpin maka tiada terbentuk keteraturan  sosial yang utuh. Hanya Dia yang agung yang mampu melindungi rakyat dari potensi kekacauan sosial. Pada puncaknya, para pengikut pemimpin idola secara kolektif mengekspresikan rasa kegalauan yang begitu meluap  sejadi-jadinya dalam ruang ruang publik untuk melepas sang pemimpin idola pergi.    
Sulit untuk dibantah, realitas kultural semacam ini  menunjukan gejala-gejala tidak sehat munculnya benih benih narasi kepemimpinan kultus di masyarakat. Sejenak kita bersama  perlu merefleksikan kembali,menata ulang bangunan sistem dan kelembagaan demokrasi kita. Gejala  semacam ini mengingatkan kita untuk tidak lengah dalam ruang kultural untuk mengawal nalar publik,  sebab penting  sebagai fondasi untuk mewujudkan bangunan kelembagaan demokrasi kita. Demi publik,untuk republik.      

.