Our Cyborg Future: Law and Policy Implications

Tuesday, September 9, 2014


Mungkin ada yang tertarik dengan legal futurism? Laporan dari Brookings institute ini menarik sekali untuk disimak. Laporan ini bermula dari putusan penting (landmark decision) dari MA Amerika Serikat dalam kasus Riley v California. Dalam kasus tersebut, SCOTUS memutuskan bahwa melakukan penggeledahan pada telepon selular tanpa dilengkapi surat perintah adalah tidak konstitusional.

Lalu, apa hubungannya dengan Cyborg? Dalam kasus tersebut, salah satu hakim SCOTUS berpendapat:

"These cases require us to decide how the search incident to arrest doctrine applies to modern cell phones, which are now such a pervasive and insistent part of daily life that the proverbial visitor from Mars might conclude they were an important feature of human anatomy."

Nah, pengertian dari Cyborg adalah:

1. a person whose physiological functioning is aided by or dependent upon a mechanical or electronic device;

2. a person whose physical tolerances or capabilities are extended beyond normal human limitations by a machine or other external agency that modifies the body's functioning; an integrated man–machine system.

Maka ketika SCOTUS menyebut demikian (entah sengaja atau tidak), metafor Cyborg timbul ke permukaan. Intinya, SCOTUS seperti mengakui adanya integrasi antara manusia dengan mesin -- dalam hal ini telepon seluler -- dan bahwa handphone -- dalam bahasa mereka "...are not just another technological convenience" -- tapi bagian dari manusia yang layak pula diberikan perlindungan dan privasi.

Masalah integrasi manusia-mesin ini, dan kemudian, kesulitan untuk membedakan mana yang manusia dan mana yang sekedar mesin, merupakan objek studi dari Wittes dan Chong. 

Di kalangan Transhuman, diskusi soal Cyborg dan AI serta implikasi politik, kebijakan dan hukumnya sudah lama ramai diperbincangkan. Ada yang mendukung, seperti Hughes dan ada juga yang menolak, seperti Fukuyama (Artikel di FP dan Buku). 

Argumen Fukuyama lumayan solid. Cyborg, apalagi intelligence amplification, akan membuat manusia menjadi timpang. Ada yang sangat maju (lebih cepat dan kuat -- misalnya menggunakan eksoskeleton atau lebih pintar dengan amplifikasi dan ada yang terbelakang). Hal ini akan merusak demokrasi.

Tapi, beberapa pakar seperti Hughes menyatakan bahwa manusia harus diberikan kebebasan atas dirinya, termasuk untuk menjadi post human -- sebuah posisi yang sebenarnya libertarian. Salah satu justifikasi terkuat atas transhumanisme datang dari Bostrom.



Mohamad Mova Al'Afghani, PhD