Kepemilikan Perusahaan bagi pejabat dan politisi harus dinyatakan dalam website Badan Pemerintah

Thursday, April 28, 2016




Tanggal 9 Mei nanti rencananya ICIJ akan merilis data Panama Papers. Mungkin tidak semua data yang dirilis, melainkan hanya data standar soal kepemilikan akhir perusahaan dan hubungan antara pemilik dan perusahaan-perusahaan cangkang yang ada di Panama Papers. Menurut ICIJ:


When the data is released, users will be able to search through the data and visualize the networks around thousands of offshore entities, including, when possible, Mossack Fonseca’s internal records of the company’s true owners
Untuk mencegah skandal politik dan penyamaran kepemilikan, CRPG memberikan 4 rekomendasi terkait transparansi korporasi dan kepentingan:


  • Pertama, seluruh perusahaan yang didirkan di Indonesia seharusnya diberikan kewajiban untuk membuka kepemilikan akhir (ultimate ownership)
  • Kedua, seluruh perusahaan yang didirikan di Indonesia seharusnya diberikan kewajiban untuk membuka kepemilikan manfaat (beneficial ownership)
  • Ketiga, perusahaan-perusahaan tertentu, sesuai dengan risikonya, diharuskan untuk membuat analisa dan evaluasi terkait tokoh politik (Politically Exposed Persons)
  • Keempat, politisi dan pejabat publik harus mengumumkan daftar potensi konflik kepentingan, yang dapat berupa daftar kepemilikan secara langsung maupun tidak dan kepemilikan manfaat atas suatu perusahaan yang pernah atau sedang dimilikinya.


    Daftar kepemilikan akhir dan manfaat (rekomendasi pertama dan kedua diatas) seharusnya bisa diakses publik di website pemerintah yang mengatur pendirian badan hukum. Sedangkan, daftar potensi konflik kepentingan (rekomendasi keempat), termasuk didalamnya kepemilikan saham, kontrak nominee saham, penerimaan uang, jasa konsultasi dan sebagainya, seharusnya dipublikasikan di website pemerintah terkait. Misalnya, untuk anggota DPR, di website DPR mengenai profil anggota, untuk hakim agung, di website Mahkamah Agung, dan sebagainya. Daftar potensi konflik kepentingan dapat diperluas sehingga mencakup kepemilikan perusahaan oleh keluarga sedarah dan semenda.   


Artikel terkait dari CRPG: Four Mechanisms for Corporate Transparency (The Jakarta Post)

,

Conventional regulations won't work for 'sharing' economies

Thursday, April 14, 2016


Image result for sharing economy


An excerpt from my OpEd in The Jakarta Post:

What is certain is that the old economy is being redefined. Even jobs are being redefined. Information technology is slowly but surely shifting “employee” into “workforce-as-service”. There will be fewer employees and more part-time work-from-home consultants. There will be fewer people going to offices and more people teleconferencing through virtual reality gadgets.

For lawyers, this means that the traditional elements of labor law, wages, authority (e.i. from a boss) and “a defined job”, are no longer fulfilled. The new workforce has more independence and outcome-rather-than-process orientation. So authority is rather irrelevant. They also receive commissions instead of wages. They also may not have a set of “defined jobs” — they may be working here and there on several projects.

For that reason, the existing Manpower Law may not be necessarily relevant for the sharing economy. Thus the government shouldn’t force manpower laws on Uber and Go-Jek. This is not to suggest that the new workforce should be deprived of their traditional protections — in terms of health insurance and pension funds and other benefits — that are traditionally provided by offices. It simply means that the government needs to think of new ways so that these protections remain available when the workforce has shifted from employment to services.

The same reason goes for transportation platforms. Taxis, for example, must comply with minimum service standards, such as being equipped with taximeters, assurance of driver’s physical condition, maximum working hours, vehicle maximum age and general safety standards such as functional seatbelts, functional brakes and regular checking to ensure that the vehicle is roadworthy. All these standards must be available to Uber’s or GrabTaxi’s customers too.

The real problem is how to apply these standards to a sharing economies platform. The government should not confuse regulatory goals with regulatory formalities. Subjecting vehicles to yellow license plates or registering them with specific licenses are regulatory formalities (means) to regulatory goals (ends), which is, among others, safety.

Now how do we get them to obey these standards? The current academic proposal from experts worldwide is through self-regulation. Some called them “shared regulations”, which denotes shared regulatory competence among several regulatory authorities and the companies themselves. Unfortunately this idea has not caught the attention of Indonesian policymakers and they are preoccupied with applying existing legal definitions to Uber, Grab or Go-Jek. As I previously mentioned, it won’t work because they can’t be categorized as per se IT or transportation companies.

See full article here.

Ini Dokumen AMDAL (ANDAL) Reklamasi Pantai Utara Jakarta

Wednesday, April 13, 2016



Perdebatan seputar reklamasi Pantai Utara Jakarta seharusnya menggunakan data-data yang valid. Dalam hal pembangunan yang berdampak lingkungan, data tersebut seharusnya tercantum dalam Dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (ANDAL) yang merupakan bagian dari proses AMDAL. 

Data ANDAL bisa didapatkan di website Pemprov DKI dengan keyword "reklamasi" (sayangnya perlu login dan register). Tampak dari website bahwa data dokumen dokumen tersebut diunggah 2014-04-12. Tidak semua dokumen berhasil kami unduh, sebagian tidak belum ditemukan link nya.

Transparansi AMDAL ini penting karena pihak yang terkena dampak dapat melihat rencana kegiatan dan alternatif-alternatifnya. Pihak yang tidak setuju juga dapat mendasarkan argumennya perihal apakah analisa yang dilakukan valid atau tidak.

Berikut Data AMDAL yang bisa kami dapatkan:


Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Kegiatan Reklamasi Pulai I Bagian Barat (Ancol) Seluas 202,5 HA

Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Reklamasi Pulau H. Kelurahan Pluit (luas ± 63 Ha)

Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Reklamasi Pulau C, D, E (Pantai Kapuk Naga Indah, Kapuk Muara/Kamal Muara, Penjaringan)




Lihat juga artikel Kompas berikut.

, , ,

Bagaimana seharusnya sharing economy diatur?

Monday, April 4, 2016



(Image: Psarros)

Literatur regulasi baru mulai ramai membahas hal ini sejak 2014 lalu. Satu hal yang banyak disepakati adalah perusahaan yang menyediakan platform marketplace seperti di atas membutuhkan kategori tersendiri di luar dari perusahaan IT atau perusahaan transportasi. Perusahaan-perusahaan ini sebaiknya diatur dengan model self-regulation (Cohen-Sundarajan, 2015).

Self-regulation dipraktikkan, misalnya, dalam pengaturan organisasi profesi seperti advokat, notaris, kedokteran, dan dalam beberapa hal, penjara dan sekolah. Dalam banyak contoh tersebut regulasi tak lagi terpusat pada pemerintah melainkan berkembang dalam lokus-lokus tersendiri (Black 2001).

Justifikasi atas self-regulation ini setidaknya bisa kita lihat dari (i) kapasitas regulasi dan (ii) insentif regulasi.

Dari sisi kapasitas regulasi, tampak bahwa ongkos regulasi yang harus dibayar oleh pemerintah akan besar apabila harus mendata satu persatu pengemudi Gojek dan Uber dan melakukan pengawasan terhadap ketaatan setiap pengemudinya atas standar pelayanan minimal. Sementara itu, Gojek dan Uber lebih memiliki kapasitas karena secara otomatis punya data dari setiap pengemudi, lengkap dengan pemeringkatannya serta keluhan penumpang atas pengemudi.

Sedangkan dari sisi insentif regulasi, kita dapat menilainya lewat dua faktor: (a) insentif untuk menegakkan dan (b) insentif untuk menaati aturan. Dari sisi insentif untuk menegakkan, aparat pemerintah memiliki insentif, misalnya, lewat lewat promosi jabatan. Namun demikian, Gojek/Uber memiliki insentif lebih karena berhubungan dengan reputasi dan kualitas layanannya. Biaya yang diperlukan perusahaan tersebut dalam memutuskan pemilik sumberdaya dari jaringan sangat kecil dibandingkan dengan, misalnya, biaya dalam melakukan sidang tilang.

Demikian juga dari sisi ketaatan. Soal memberikan helm bagi penumpang, misalnya, insentif utama bagi pengemudi ojek adalah akan ditangkap polisi. Namun, apabila ada ancaman lain seperti dilaporkan oleh penumpang kepada perusahaan, maka insentifnya dalam menaati peraturan akan bertambah.

Dengan demikian, peranan pemerintah (atas menu-menu regulasi tertentu) bukanlah sebagai penegak langsung atas aturan (enforcer) melainkan penegak tidak langsung. Pemerintah cukup membuat kerangkanya regulasinya dan meminta akuntabilitas ketaatan secara umum dari perusahaan. Yang menjadi pelaksana dan penegak regulasi adalah perusahaan-perusahaan tersebut langsung kepada para pengemudi.

Pemerintah bisa membuat standar tingkat ketaatan rata-rata minimal dari pengemudi (misalnya, jumlah rata rata kecelakaan) dan kemudian menjatuhkan denda apabila perusahaan tidak memenuhinya. Dengan cara ini, Uber/Gojek akan dipacu untuk terus melakukan penyuluhan keselamatan kepada pengemudi.

Baca artikel lengkapnya di Geotimes:
Jokowi dan Problem Regulasi Ekonomi Berbagi oleh Mohamad Mova Al'Afghani

End of Term Report OGP IRM

Sunday, April 3, 2016

Image result for ogp irm


Mekanisme Pelaporan Independen Kemitraan Pemerintahan Terbuka saat ini memasuki tahapan laporan akhir (End of Term Report). Laporan akhir ini akan melakukan pendataan capaian target Pemerintahan Terbuka Indonesia periode Juni 2014 sampai dengan September 2015. Sebelumnya, IRM telah mempublikasikan laporan Mid Term OGP (bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.)

Terdapat beberapa hal yang menjadi perhatian IRM dalam End of Term Report ini. diantaranya adalah finalisasi struktur dan organisasi sekretariat nasional Open Government Indonesia. Pada OGP Summit November tahun lalu di Mexico, perwakilan pemerintah menyatakan rencana pembentukan sekretariat nasional yang akan dipimpin oleh Kantor Staf Presiden dan dilaksanakan oleh Bappenas serta Kementerian Luar Negeri. IRM akan melaporkan sejauhmana realisasi dari rencana ini.

Selain itu, IRM akan melakukan evaluasi mengenai target yang belum dicapai oleh Pemerintah Indonesia pada periode pelaporan sebelumnya.

Berikut ringkasan keberhasilan capaian Indonesia sebegaimana dilaporkan dalam Mid Term Report:



Untuk periode laporan akhir ini, publik dan badan badan pemerintah masih memiliki kesempatan untuk memberikan masukan kepada IRM sampai dengan tanggal 23 April 2016. 



IRM Indonesia
Kontak: 
Mohamad Mova AlAfghani (mova@alafghani.info)
Pius Widiyatmoko (pwpiupiu@gmail.com)


, , ,

Regulatory Framework for Local Scale Wastewater / Kerangka Regulasi Air Limbah Skala Lokal

Thursday, March 31, 2016


CRPG recently completed its report (currently in layout stage) on the regulation of local scale wastewater commisioned for ISF UTS under the ADRAS project. We propose that regulatory framework specifically acknowledge local/community scale wastewater in the spectrum of wastewater provision and that community based organizations are accorded with distinct rights and obligations as a service provider. The template that we propose (above picture) can be incorporated into regional bylaws/regional regulation or national regulation.

To download the high quality resolution mind map, "save as" this link.

,

Regulation of Sharing Economy/ Regulasi Sharing Economy

Wednesday, March 30, 2016



This mindmap (v.1.0.) lists issues and explores regulatory methods for sharing economies. Banning/disconnecting users from marketplace and rating/trust system are proposed as part of the new regulatory tools.


To view/download the full size mind map, go to here.